Jumat, 02 Oktober 2015

Teori Tindak Tutur dalam Linguistik Fenomenologi J.L. Austin



Pendahuluan
            Orientasi hidup seseorang atas salah satu cara dapat dinilai dari gaya berbahasanya, entah dalam bahasa keseharian maupun dalam situasi yang lebih formal. Gaya berbahasa yang dimaksud tidak hanya dilihat dari segi teknisnya, baik pemilihan kata, morfologi maupun fonologinya. Yang juga dapat diperhatikan di sini adalah makna dan situasi yang dihadirkan oleh si penutur dalam tuturannya. Di sinilah bahasa dapat ditelaah secara filsafati.
            Dalam sejarah filsafat, ada beberapa filsuf yang telah menelaah bahasa dari berbagai aspeknya. Namun, salah satu filsuf yang sangat fokus dalam penelaahan filsafat bahasa sehari-hari adalah John Langshaw Austin dari Universitas Oxford, Inggris. Melalui linguistik fenomenologinya, Austin menelaah bahasa secara filsafati dari tindak tutur manusia yang terwujud dalam Teori Tindak Tutur (Speech Acts).
            Paper ini akan membahas Teori Tindak Tutur yang dicetuskan oleh John Langshaw Austin. Pembahasannya akan diurutkan mulai dari sejarah munculnya filsafat bahasa, teori tindak tutur Austin itu sendiri dan akan diakhiri dengan aplikasi Austin atas teori tersebut.
           

I. Filsafat Bahasa dan Linguistik Fenomenologi
Awal abad 20 merupakan masa-masa kelahiran Filsafat Bahasa yang dipandang sebagai aliran pemikiran yang paling fenomenal dan dikategorikan sebagai logosentris, karena fokusnya pada bahasa sebagai pusat wacana filsafat. Melalui prinsip bahwa suatu ungkapan bahasa harus sesuai dengan pemakaian dan aturan tertentunya, Filsafat Bahasa bahkan dianggap memiliki metode yang kritis dan netral, karena mampu membersihkan bahasa para filsuf sebelumnya dari pemikiran yang melingkar-lingkar, tidak jelas dan tidak terlibat dengan realitas terutama di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain hal ini, metode yang digunakan Filsafat Bahasa juga dianggap sebagai metode yang khas dalam ilmu filsafat, karena selain digunakan untuk mencari hakikat bahasa juga sekaligus dapat dijadikan teori untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan bahasa. (Wibowo, 2011:4) Dari segelintir figur filsuf Filsafat Bahasa, dua di antaranya yang dapat disebutkan telah memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan pemikiran Filsafat Bahasa adalah Ludwig Wittgenstein dan J.L. Austin. Wittgenstein merupakan peletak dasar Filsafat Bahasa modern, sedangkan J.L. Austin, murid Wittgenstein, adalah penerusnya. Untuk dapat memahami pemikiran dan gagasan Austin, maka perlu terlebih dahulu dijelaskan hidup, karya serta pemikiran Wittgenstein.

a. Hidup dan Karya Ludwig Wittgenstein.
.Ludwig Wittgenstein adalah seorang filsuf keturunan Yahudi dari Austria. Ia lahir di Wina, pada tanggal 26 April 1889 sebagai yang bungsu dari delapan anak. Pada tahun 1906, Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Dua tahun kemudian, ia melanjutkan studi tekniknya di Manchester.  Di sana ia mengadakan riset dalam bidang teknik pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk teknik baling-baling perlu banyak pengetahuan mengenai matematika, perhatiannya semakin tertarik oleh matematika dan filsafat matematika. Pada tahun 1911, G. Frege, seorang matematikawan menasihatinya untuk berguru filsafat pada Bertrand Russel di Universitas Cambridge. Di sanalah, Wittgenstein mulai merintis karirnya sebagai filsuf. Ia kemudian dikenal sebagai salah seorang profesor filsafat kenamaan di universitas tersebut, meski pada tahun 1947 ia meninggalkan keprofesorannya tersebut. Dua karya Wittgenstein yang paling dikenal adalah Tractatus logico-philosophicus dan Philosophische Untersuchungen/Philosophical Investigations. Pada tanggal 29 April 1951, ia meninggal dunia di Cambridge akibat kanker, setelah menderita sakit selama 2 tahun. (Bertens, 2001:41-43)

b. Pemikiran Wittgenstein
            Dua karya Wittgenstein yang sudah disebutkan pada bagian sebelumnya memuat gagasan utama filsafatnya sendiri yang nantinya akan mempengaruhi gagasan fisafat J.L. Austin. Dalam Tractatus, Wittgenstein berbicara mengenai logika bahasa. Salah satu unsur yang sangat penting dalam uraiannya adalah apa yang disebut dengan picture theory atau “teori gambar” yang dapat dianggap sebagai teori mengenai makna. Sebagaimana tersirat dalam buku ini, Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa.
            Sedangkan dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menolak terutama tiga hal yang dulu diandalkan begitu saja dalam teori pertama, yakni:
(1)   bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan state of affairs (keadaan-keadaan faktual),
(2)   bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan keadaan faktual, dan
(3)   bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Menurut Wittgenstein, kata-kata dapat dipakai dengan banyak cara, dapat dibandingkan dengan alat-alat. Ada macam-macam alat yang mempunyai macam-macam fungsi. Demikian halnya juga dengan bahasa, maksudnya kata-kata dan kalimat-kalimat yang kita pakai. Ada banyak sekali cara untuk menggunakan bahasa, bahkan menurut perkataan Wittgenstein sendiri banyak cara yang tak terbilang jumlahnya, sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh para ahli logika. Untuk menjelaskan bahwa bahasa dipakai dengan rupa-rupa cara, dalam Philosophical Investigation Wittgenstein memperkenalkan istilah language games (permainan-permainan bahasa). Sebagaimana terdapat banyak permainan, demikian juga terdapat banyak “permainan bahasa”, banyak cara untuk menggunakan bahasa. Dalam hal ini, Filsafat harus menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukan aturan-aturan yang berlaku didalamnya, menetapkan logikanya dan sebagainya. Filsafat tidak campur tangan dalam pembentukan suatu permainan bahasa. Filsafat hanya melukiskan berfungsinya. (Bertens, 2001:51-53)
           

II. Teori Tindak Tutur (Speech Acts) Menurut J.L. Austin.
            Boleh dikata pemikiran Wittgenstein sedikit banyak mempengaruhi J.L. Austin dan gagasan-gagasan filsafatinya. Bagaimanapun juga, Austin kemudian lebih mengeksplorasi filsafatnya sendiri. Bagian ini akan mengemukakan hidup, karya dan pemikiran J.L. Austin terutama teori tindak tuturnya.
a. Hidup dan Karya J.L. Austin
            J.L. Austin lahir pada tanggal 26 Maret 1911 di Lancaster, Inggris. Ia belajar filologi klasik serta filsafat di Oxford dan menjadi profesor di sana. Pada masa Perang Dunia II, ia bertugas sebagai tentara pada British Intelligence Corps dan mencapai pangkat letnan-kolonel. Meski ia sendiri menerbitkan sangat sedikit beberapa paper-nya yang ia bawakan pada pertemuan-pertemuan ilmiah, namun dengan kuliah-kuliahnya dan diskusi-diskusi berkala, ia memberi pengaruh besar dalam kalangan filsuf bahasa di Oxford. Di antara para filsuf di Inggris, mungkin tidak ada orang yang begitu bersemangat menyelidiki bahasa pergaulan yang biasa seperti J.L. Austin. Ia yakin bahwa orang dapat belajar banyak dengan memperhatikan bahasa orang lain. Dalam bahasa, terdapat banyak sekali distingsi dan nuansa halus, yang diperkembangkan selama banyak generasi oleh masyarakat pengguna bahasa dalam usaha untuk mengungkapkan pemikiran mereka. Dari pada itu, J.L. Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret di mana ucapan-ucapan tersebut dan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan dengannya. Pertanyaan yang sering diketengahkan oleh J.L. Austin adalah what to say when, di mana unsur bahasa (what) dianggap sama penting dengan dunia fenomena (when). (Bertens, 2002:60-61)
            Karya-karya besar J.L. Austin (yang diterbitkan setelah meninggalnya di tahun 1960 oleh J.O. Urmson dan G.J. Warnock) adalah sebagai berikut:
-          Philosophical Papers (1961): kumpulan sejumlah makalah yang pernah dibawakan oleh J.L. Austin dalam pelbagai kesempatan,
-          Sense and Sensibilia (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang pernah ia bawakan di Universitas Oxford,
-          How to Do Things with Words (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang ia bawakan di Universitas Harvard, Amerika Serikat, pada tahun 1955.

b. Teori Tindak Tutur (Speech Acts)
            Secara garis besar, Austin berkeyakinan bahwa dari bahasa biasa sehari-hari akan ada banyak hal yang dapat dipelajari, mengingat banyaknya distinsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap segala realitas. Ia juga meyakini bahwa tidak sedikit masalah filosofis yang akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung dalam bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip inilah yang disebut oleh Austin dalam istilah linguistik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa. (Wibowo, 2011:27)
Dalam karyanya How to Do Things with Words-lah, J.L. Austin sendiri berusaha untuk memperincikan teori tindak tutur (speech acts) yaitu tindakan bahasa yang berperan ketika seseorang mengucapkan suatu kalimat atau ucapan. Teori tindak tutur, yang dilandasi oleh pemikiran mentornya, Wittgenstein, tersebut dibangun oleh Austin melalui tesis “dalam mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan sesuatu pula”. Pada prinsipnya tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama. Tiap pernyataan yang dituturkan mencerminkan tindakan si penuturnya itu. Dalam ungkapan lain, tindak tutur tidak hanya mengungkapkan gaya bicara si penutur, tetapi juga merefleksikan tanggung jawab si penutur terhadap isi tuturannya, mengingat isi tuturannya itu mengandung maksud-maksud tertentu dalam mempengaruh pendengarnya. J.L. Austin membagi tindak tutur ke dalam tiga jenis, yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary acts) dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts). Berikut ini adalah uraiannya (Wibowo, 2011:36-37):
1)      Tindak lokusi, yaitu tindak tutur si penutur dalam menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur itu untuk melaksanakan isi tuturannya. Austin menggolongkan tindak lokusi ke dalam tiga sub-jenis:
-          Tindak fonetis (phonetic acts), yakni tindak mengucapkan bunyi tertentu.
-          Tindak fatis (phatic acts), yakni tindak tutur mengucapkan kosakata tertentu yang membentuk suatu gramatika tertentu yang dikenal pula sebagai kalimat langsung.
-          Tindak retis (rhetic acts), yakni tindak tutur dengan tujuan melaporkan apa yang dituturkan si penutur, yang juga disebut sebagai kalimat tak langsung.
2)      Tindak ilokusi, yakni tindak tutur si penutur yang hendak menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya. Dengan kata lain, dalam tuturan tersebut terkandung suatu kekuatan yang mewajibkan si penutur melaksanakan apa yang dituturkannya. J.L. Austin membagi tindak ilokusi ke dalam lima sub-jenis:
-           Verdiktif (verdictives acts), yakni tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah, namun keputusan tersebut bukan keputusan yang bersifat final.
-          Eksersitif (exercitives acts), yakni tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh.
-          Komisif (commissives acts), yakni tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu.
-          Behabitif (behabitives acts), yakni tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial yang bertalian dengan rasa simpati, saling memaafkan atau saling mendukung.
-          Ekspositif (expositives acts), yakni tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi yang berasal dari referensi tertentu.
3)      Tindak perlokusi, yakni efek tindak tutur si penutur bagi pendengarnya. Dalam penegasan lain, bila tindak lokusi dan tindak ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, pada tindak perlokusi yang ditekankan adalah bagaimana respons pendengarnya. Hal ini, menurut J.L. Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan.

Melalui tindak tutur, J.L. Austin memang hendak menegaskan bahwa suatu analisis terhadap ungkapan bahasa jangan hanya membatasi diri pada makna ujaran saja, tetapi juga harus meneliti akibat yang dapat ditimbulkan oleh ujaran itu. Dalam kaitan ini, Austin mengingatkan bahwa diperlukan suatu ‘kewaspadaan’ dalam mendengar atau membaca suatu ungkapan bahasa, sekalipun ungkapan tersebut telah bersubyek dan berpredikat. Hal ini agaknya amat ditekankan oleh Austin, mengingat di dalam tiap-tiap bahasa tersirat suatu orientasi hidup dari si pengguna bahasa.


III. Aplikasi Teori Tindak Tutur: Teknik Laboratorium
            Setelah dipaparkan dan dipresentasikan di pelbagai forum dan kuliah, Teori Tindak Tutur sebagai bagian dari linguistik fenomenologis Austin semakin dikenal dan diterima di kalangan filsuf dan pelajar Filsafat Bahasa di Universitas Oxford. Perkembangan yang sedemikian pesat ini disilanyir oleh karena sifat-sifat Filsafat Bahasa Austin sebagai berikut (Wibowo, 2011:63-64):
1)      Menggarisbawahi pertanyaan dengan cara apa dan bagaimana kata-kata dipakai;
2)      Menggarisbawahi penggunaan metode analisis bahasa yang bermacam-macam, sebagai wujud protes para filsufnya terhadap penyeragaman metode ala linguistik struktural;
3)      Menggarisbawahi pendeskripsian secara rinci penggunaan bahasa, karena dengan demikian akan ada banyak masalah filosofis yang dapat dipecahkan.
Dengan menggarisbawahi penggunaan bahasa biasa bagi maksud dan tujuan filsafat, Teori Tindak Tutur yang dikemukakan oleh Austin tetap memiliki relevansi dalam kehidupan akademik dan intelektual dewasa ini. Perkembangan zaman yang sedemikian cepat dan mendunia seperti sekarang masih menawarkan kepada kita semua kebebasan paradigmatik dan wawasan intelektual yang sangat luas. Ketika kita hanya dipusingkan oleh pembuktian general theory yang nyata-nyata sifat kebenarannya semu belaka, pada saat itulah kita akan kehilangan nilai-nilai kehidupan yang justru memiliki konteks utama di dalam kehidupan sehari-hari (Wibowo, 2011:51-52)

a. Wujud dan Langkah-langkah Teknik Laboratorium
Sebagai pembuktian atas relevansi Teori Tindak Tutur, Austin telah memulai suatu aplikasi atas teorinya tersebut dalam metode yang disebut dengan teknik laboratorium. Teknik ini merupakan metode analisis bahasa yang digunakan untuk menganalisis ungkapan filosofis para filsuf terdahulu. Pertimbangan utama Austin dalam mengaplikasikan teorinya dalam metode ini adalah kenyataan akan adanya hal paling kritis mengenai bahasa yang digunakan oleh para filsuf. Semestinya, para filsuf lebih mencerminkan kecerdasan mereka dalam mengembangkan dan mendayagunakan kekayaan dan keanekaragaman yang terdapat di dalam bahasa biasa (bahasa sehari-hari) untuk menjelaskan secara jernih dan jelas masalah-masalah filosofis yang ada. Perwujudan dari teknik laboratorium adalah dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi yang tugasnya menganalisis penggunaan bahasa dari para filsuf. Cara kerjanya adalah dengan mengumpulkan dan menyelidiki istilah-istilah dan ungkapan khusus yang terdapat di dalam teks-teks filsafat dari para filsuf, kemudian mencari dasarnya di dalam bahasa biasa. Sebagai langkah terakhir adalah membuat kesimpulan apakah istilah-istilah dan ungkapan khusus tersebut sesuai dengan maksud filsufnya. (Wibowo, 2011: 59-60)



b. Hubungan Teknik Laboratorium dalam Metafisika dan Idealisme
Teknik laboratorium yang digunakan oleh Austin akan sangat terlihat ketika dihubungkan dengan cara berpikir metafisik atau idealis, yang menganggap dunia kedua lebih tinggi kadar kenyataannya dan oleh karena itu dapat ditentukan melalui pancaindera. Austin kemudian menyelidiki sejumlah istilah yang menurut kalangan idealis mencakup seluruh realitas, contohnya: ‘roh’, ‘materi’, ‘kebenaran’, ‘transendensi’, dan ‘imanensi’. Menurut Austin, istilah-istilah metafisik dan idealis tersebut ternyata tidak berkaitan dengan hal yang benar atau yang salah, tetapi memang sama sekali tidak bermakna. Maka dari itulah, ditegaskan oleh Austin bahwa bahasa jangan justru menjadi penyesat dalam berfilsafat, melainkan harus dipandang sebagai sumber pengetahuan. Selaras dengan hal ini, Austin menyinggung hubungan antara persepsi dan bahasa dengan menguji doktrin yang mengatakan bahwa manusia sebenarnya tidak pernah mengalami secara langsung benda-benda materi, kecuali mencerapnya melalui data inderawi (sense data).
Dari sini Austin hendak menegaskan bahwa kebenaran sangat tergantung situasi ketika sesuatu hal ditampilkan. Dengan kata lain, yang disebut sebagai kebenaran sangat tergantung situasi yang konkret kapan suatu kata, ungkapan atau suatu kalimat diutarakan. Berkaitan dengan hal ini, Austin menggarisbawahi bahwa kesalahan filosofis sebenarnya timbul dari kesalahan pengamatan yang diserap melalui data inderawi tersebut. Kesalahan tersebut merupakan konsekuensi logis bahwa pemikiran filsafat sangat luas dan kompleks, apalagi bila didekati hanya dengan satu metode, sehingga berdampak pada kebuntuan para filsuf dalam memecahkan masalah-masalah filosofis yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapan tertentu, seperti ‘kebebasan’, ‘kebenaran’ atau ‘kepribadian manusia’. Dengan demikian, wajarlah jika teknik laboratorium dipandang sangat sistematik, lebih akurat dan holistik, karena terbukti mampu menganalisis makna kata, ungkapan, serta bentuk-bentuk sintaksisnya yang bertalian dengan maksud penulisnya. (Wibowo, 2011:60-62)


III. Kesimpulan
            Pada akhirnya, seluruh pembahasan mengenai Teori Tindak Tutur dalam linguistik fenomenologis Austin ini berujung pada keyakinan bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat manusia untuk mengekspresikan dirinya ataupun sebagai alat komunikasi antara dirinya dengan sesamanya. Manusia dengan sesamanya akan selalu terhubung dalam wadah-wadah konstruksi sosial dan budaya, sehingga tak pelak lagi nilai-niali kehidupannya akan tercermin dalam bahasa yang dituturkannya. Singkat kata, bahasa dan seluruh makna yang terkandung di dalamnya merupakan aspek teramat penting dalam hidup manusia.
            Ungkapan ide atau gagasan manusia dan hasil refleksi filosofis para filsuf (yang juga adalah manusia) ikut tertuang pula dalam bahasa. Baik yang terwujud dalam nilai-nilai kebijaksanaan, masalah hakiki kehidupan dan buah-buah ilmu pengetahuan maupun keyakinan, kesemuanya dituturkan ke dalam bahasa untuk dapat ditangkap oleh manusia lainnya. Hubungan antara bahasa dengan filsafat mestinya dapat menjadikan manusia makin beradab, karena ia hidup dalam kesekitaran yang sifatnya plural dan terjalin dalam relasi dialogis.
            Maka dari itulah, John Langshaw Austin, sebagai pencetus Teori Tindak Tutur dan sekaligus pengembang aliran Filsafat Bahasa Biasa bersama Ludwig Wittgenstein sangat mengedepankan pentingnya mengobservasi penggunaan bahsa dari sudut maknanya dengan kritis. Tujuannya adalah agar bahasa tidak lagi menjadi alat kekuasaan bagi pribadi ataupun pihak tertentu yang mengutamakan dan menghendaki kesamaan cara hidup di bawah satu cara berpikir atau satu tujuan tunggal.


Daftar Pustaka
Austin, J.L. 1955. How To Do Things With Words. Harvard: Harvard University Press.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Liberman, Alvin M. and Whalen, Doug H. May 2000. On The Relation of Speech to Languange in “Trends of Cognitive Science Vol. 4 Ed. 5”.
Longworth, Guy. 2010. J. L. Austin (1911-1960). University of Warwick.
Parker, Frank. 1986. Linguistics For Non-Linguists. London: Talyor & Francis. Ltd.

Wibowo, Wahyu. 2011. Linguistik Fenomenologis John Langshaw Austin: Ketika Tuturan Berarti Tindakan. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar