Jumat, 02 Oktober 2015

Metafora "Pro-Choice" dalam film "Prometheus"

Pendahuluan


            Dalam dunia kebahasaan, ada sekian banyak gaya yang bisa ditampilkan. Salah satunya adalah metafora. Metafora dapat dipandang sebagai bentuk kreativitas penggunaan bahasa. Jadi, yang kreatif adalah penggunanya. Pada dasarnya, metafora diciptakan berdasarkan persamaan (similarity) antara dua satuan atau antara dua term. Persamaan itu sifatnya tidak menyeluruh, melainkan hanya dalam sebagian aspeknya saja. Persamaan itu dapat berkaitan dengan wujud fisiknya atau dalam hal sebagian sifatnya atau karakternya atau bahkan berdasarkan persepsi seseorang.  (Subroto, 2011:115-116).
            Kreativitas penggunaan bahasa yang dihadirkan dalam rupa metafora, selain hadir dalam percakapan sehari-hari, kerap kali juga dimunculkan dalam karya sastra dan karya seni, salah satunya dalam film. Metafora yang dihadirkan dalam film dapat dimaksudkan sebagai alat atau sarana untuk mengusung suatu nilai atau ideologi tertentu. Sutradara atau penulis skenario film biasanya akan menempatkan metafora tersebut dalam dialog atau adegan-adegan tertentu. Dialog atau adegan-adegan tersebut akan mewakili nilai atau ideologi yang hendak diangkat dalam keseluruhan film tersebut.
            Salah satu film Hollywood yang memuat metafora atas nilai atau ideologi tertentu adalah sebuah film karya Ridley Scott yang berjudul “Prometheus”. Beberapa pengamat atau kritikus film menganggap beberapa adegan dan dialog dalam film ini menjadi metafora dari gagasan mengenai “pro-choice”. Bahkan keseluruhan film ini merupakan metafora dari “pro-choice” itu sendiri (Kearns, 2012:1).
“Pro-Choice” itu sendiri merupakan gerakan dan konsep yang meyakini bahwa tiap individu memiliki otonomi tak terbatas dengan penuh penghargaan atas sistem reproduksi mereka sendiri selama tidak mengusik otonomi (orang) yang lain (Head, 2012:1). Salah satu ‘produk’ andalan gerakan ini adalah kebebasan bagi kaum perempuan untuk melakukan aborsi. Gerakan atau pandangan dari “pro-choice ini biasanya dipertentangkan dengan gerakan “pro-life”, yang meyakini bahwa semua hak hidup wajib dilindungi oleh semua pihak, terutama oleh pemerintah. Sehingga, berkaitan dengan aborsi, gerakan “pro-life” mengajukan zero tolerance atau sama sekali tidak menyetujuinya.
Makalah ini akan membahas dan menganalisa metafora “pro-choice dalam film Promotheus. Bahasannya akan diruntut dari pengertian dan jenis-jenis metafora dan dilanjutkan dengan konsep dan gerakan “pro-choice” dan pertentangannya dengan konsep dan gerakan “pro-life”.  Kemudian, metafora “pro-choice” dalam film Prometheus akan dianalisa dari dialog-dialog yang dipilih dari film tersebut. Diharapkan bahasan dalam makalah ini akan memperkaya khasanah berpikir dari semua orang menyimaknya tentang bagaimana kreativitas berbahasa, terutama metafora, dapat diterapkan dalam media film.



Bab I: Metafora

            Bagian pertama paper ini akan membahas metafora secara teoretis. Selain dijelaskan definisi-definisi metafora, akan disebutkan pula di sini jenis-jenisnya. Pembahasan mengenai metafora ini akan berguna dalam menganalisa metafora dalam film ‘Prometheus’.

I.1. Definisi Metafora
            Secara etimologi, metafora berasal dari bahasa Yunani, metaphero (μεταφέρω) yang berarti “membawa lebih”, “memindahkan” dan berasal dari dua gabungan kata Yunani: meta (μετά) yang berarti “di antara” dan phero (φέρω) yang berarti “membawa”. Dari etimologinya tersebut, metafora dapat diartikan “pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan.” Sebagai suatu pengabstrakan, metafora dapat berupa “pemakaian kata atau bentuk lain yang bersangkutan dengan obyek konkret untuk obyek atau konsep abstrak” (Kridalaksana, 2009:152-153)
            Beberapa pakar bahasa juga mengemukakan pengertian metafora mereka sendiri. Stephen Ullman menyatakan bahwa metafora adalah suatu perbandingan antara dua hal yang bersifat menyatu (luluh) atau perbandingan yang bersifat langsung karena kemiripan atau kesamaan yang bersifat konkret atau nyata atau bersifat intuitif atau perseptual. Karena perbandingan itu bersifat menyatu atau luluh, maka tidak dinyatakan dengan kata-kata yang mengungkapkan perbandingan, contohnya: seperti, bak, laksana, bagaikan. Geoffrey Leech menyatakan bahwa metafora dipandang sebagai sebuah “transfer makna atau perpindahan makna”. Begitu pula pakar bahasa yang lain, seperti George Lakoff dan Mark Johnson menyatakan bahwa “esensi metafora adalah pemahaman dan pengalaman akan sesuatu yang dipadankan dengan sesuatu yang lain.” (Subroto, 2011:120-121)

I.2. Jenis-jenis Metafora
            Beberapa pakar bahasa menganggap metafora sebagai “ratunya” majas, karena bisa dilhat dari proses pembentukannya. Banyak jenis majas lainnya yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis majas ini. Salah satu dari pakar bahasa yang membagi jenis-jenis metafora adalah Kerbrat Orrecchioni (Kusuma, dkk. 2011:173-174), yang melihat bentuknya, mengajukan dua macam metafora, yaitu:
a.       Metafora in praesentia
Metafora ini bersifat eksplisit. Sebagai contoh, “Tono memang buaya darat” (biasa disebut asimilasi). Di sini kedua unsur yang dibandingkan muncul, jadi tidak bersifat implisit. Apabila kita bandingan aspek makna majas simile dengan metafora asimilasi, akan tampak perbedaan. Kita lihat contoh berikut ini:
1)      “Tono seperti buaya darat” (simile),
2)      “Tono memang buaya darat” (asimilasi)
Kalimat pertama menyatakan bahwa sebagian sifat Tono mirip sifat buaya darat. Sementara itu, bila tak ada kata pembanding (digunakan metafora asimilasi), maka si pengujar menyatakan bahwa secara keseluruhan, Tono memang buaya darat.
b.      Metafora in absentia
Metafora ini dibentuk berdasarkan penyimpangan makna. Seperti juga pada simile, dalam metafora terdapat dua kata (atau bentuk lain) yang maknanya dibandingkan. Namun, salah satu unsur bahasa yang dibandingkan, tidak muncul, bersifat implisit. Sifat implisit ini menyebabkan adanya perubahan acuan dan penyimpangan makna, sehingga menimbulkan masalah kolokasi, yaitu kesesuaian makna dari dua atau beberapa satuan linguistik yang hadir secara berurutan dalam ujaran yang sama. Hal ini yang mungkin menjadi masalah dalam pemahaman metafora. Contoh: “Banyak pemuda yang ingin mempersunting mawar desa itu”. Dalam contoh tersebut, ada dua wilayah makna, yaitu wilayah makna kata “gadis” yang tidak hadir (in absentia) dan wilayah makna kata “mawar”. Sebagian wilayah makna “mawar” dan “gadis” sama, yaitu indah, cantik, segar, harum. Meskipun wilayah makna kedua kata itu akhirnya menyatu, makna pertama (“gadis”) tidak menghilang, melainkan ada di latar belakang makna kata kedua (“mawar”).



Bab II: “Pro-Choice

            Untuk dapat menganalisa metafora “pro-choice” dalam film Prometheus, maka perlu terlebih dahulu dipahami apa itu “pro-choice”. Bagian ini akan menjelaskan sejarah dan konsep “pro-choice”, terutama dalam kaitannya dengan praktek aborsi, dan pertentangannya dengan konsep “pro-life”.

I.1. Sejarah dan Konsep “Pro-Choice”: Aborsi
            Seperti yang telah dikemukakan di bagian pendahuluan, konsep “pro-choice” dan gerakannya sangat mengedepankan otonomi penuh tiap pribadi atas tubuhnya sendiri. Dalam kaitannya dengan dunia feminisme, konsep dan gerakan “pro-choice” selalu dikaitkan dengan kebebasan kaum perempuan untuk melakukan aborsi. “Pro-choice menyetujui legalisasi aborsi atas permintaan, mereka menamakan dirinya sebagai pro-pilihan. Kelompok ini setuju pada pilihan dan cenderung percaya bahwa fetus bukan makhluk manusiawi, atau dia (jika makhluk manusia) tidak mempunyai hak dan kepentingan dan tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah atau pun bersalah. Bahkan mereka mengatakan bahwa reproduksi manusia merupakan masalah yang sangat serius, pada umumnya berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif bersifat mutlak dan harus tidak dihalangi (Amalia, 2010:3)
 Konsep “pro-choice seperti ini sendiri baru muncul di ranah publik dan hukum, tepatnya di Amerika Serikat ketika pada tanggal 22 Januari 1973, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa hak untuk melakukan aborsi tidak hanya terbatas pada tiga bulan pertama, tetapi pada sepanjang masa kehamilan. Kasus ini dimulai dari tuntutan Norma McCorvey melawan hukum Texas tahun 1854 yang melarang aborsi kecuali “untuk tujuan menyelamatkan hidup sang ibu”. McCorvey menuntut hak penuh untuk melakukan aborsi dan mengklaim bahwa hukum Texas tersebut telah merenggut hak-hak konstitusionalnya. Tujuh dari anggota Mahkamah Agung kemudian menyetujui tuntutan McCorvey. Sembari mengakui bahwa hak aborsi tidak tertulis dalam undang-undang, mereka menyatakan bahwa hak aborsi adalah bagian dari “hak untuk memperoleh privasi”. Mereka juga menyatakan bahwa kata “orang” atau “pribadi” dalam undang-undang tidak mengindikasikan janin. Dengan cara ini, pihak Mahkamah Agung Amerika Serikat menciptakan suatu hak untuk menggugurkan bayi setiap saat, bahkan demi alasan-alasan “emosional”. Hal ini kemudian sejurus dengan penelitian dari Institut Guttmacher yang mana dalam 25 tahun terakhir, hanya 7% dari wanita di dunia melakukan aborsi karena masalah kesehatan atau masalah kesehatan yang mungkin dialami bayi, sedangkan tidak sampai setengah persen melakukan aborsi karena hasil dari perkosaan. Di sinilah posisi dilematis konsep dan gerakan “pro-choice”, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di belahan dunia lainnya. Gerakan “pro-choice” modern berupaya melindungi gambaran aborsi sebagai praktek yang positif dan pro-perempuan. Meski mendapatkan dukungan undang-undang, konsep dan gerakan ini tetap saja ditentang dari berbagai penjuru, tak terkecuali dari para perempuan sendiri yang mendukung “pro-life”. (Ruse dan Schwarzwalder, 2011:3-5)
            Di Indonesia, dilema yang dihadapi gerakan “pro-choice” agak lebih berbeda. Hukum di Indonesia belum memberikan ruang bagi tindakan aborsi yang aman. Menurut Maria Ulfah, undang-undang menutup sama sekali praktik aborsi dengan alasan apapun. Dalam UU Kesehatan juga terlihat sekali bahwa klausul tentang aborsi sangat bias jender. Di situ diterangkan, dokter bisa mengambil tindakan tertentu untuk menyelamatkan ibu dan janinnya. Padahal klausul ini menyangkut dua hal yang tidak mungkin dilakukan dalam konteks aborsi, dengan alasan menyelamatkan nyawa kedua-duanya karena dalam aborsi ada yang dikorbankan. Beberapa orang melakukan aborsi dengan alasan yang beragam, antara lain: malu pada keluarga dan masyarakat karena hamil, masalah keuangan, faktor genetika, kesehatan mental, terlalu muda atau terlalu tua untuk hamil, masih menempuh pendidikan, memiliki alasan pribadi untuk tidak memiliki anak, alasan kesehatan, memiliki masalah hubungan dengan pasangan atau karena diperkosa dan inses. Aborsi juga dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang melakukannya sendiri, datang ke klinik atau rumah sakit, dengan obat-obatan, ramuan bahkan pijat. Hasil penelitian kepada para pelaku aborsi juga menunjukkan reaksi mereka berbeda. Hasilnya menyatakan bahwa setelah aborsi mereka merasa takut, marah, malu, nyaman, percaya diri, bingung, kecewa, sedih, bersalah, terjebak, bodoh hingga tidak bisa merasakan apa-apa. (Amalia, 2010:4-6)

I.2. “Pro-Choice” versus “Pro-Life
            Konsep dan gerakan “pro-choice” selalu diperhadapkan dan dipertentangkan dengan konsep dan gerakan “pro-life”. Secara pokok, gerakan “pro-life” dan “pro-choice” bertemu dalam konflik mengenai aborsi. “Pro-choice” menyetujui legalisasi aborsi atas permintaan, mereka menamakan dirinya sebagai pro-pilihan. Kelompok ini setuju pada pilihan dan cenderung percaya bahwa fetus (janin) bukan makhluk manusiawi, atau dia (jika makhluk manusia) tidak mempunyai hak dan kepentingan dan tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah atau pun bersalah. Bahkan mereka mengatakan bahwa reproduksi manusia merupakan masalah yang sangat serius, pada umumnya berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif bersifat mutlak dan harus tidak dihalangi. Sementara kelompok “pro-life” anti dan menentang aborsi. Kelompok ini memandang bahwa fetus manusia merupakan makhluk yang tidak bersalah dan tidak boleh dibunuh dalam situasi apa pun. Bagi mereka, fetus memiliki hak atas kehidupan yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, sama seperti membunuh orang yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan, karena ia berhak atas kehidupan. Kelompok “pro-life” berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif tidak mutlak. Maka aborsi dalam lingkup tertentu boleh jadi kurang jahat dibanding kejahatan lainnya. Akan tetapi tidak ada kejahatan, betapa pun kurang, yang secara moral netral. (Amalia, 2010:3).
            Konflik konseptual dan praktikal antara gerakan “pro-choice” dan “pro-life” masih berlangsung hingga saat ini. Usaha-usaha untuk mempromosikan tiap konsep ini oleh masing-masing gerakan terus didengungkan dalam perbagai media dan rupa. Di tengah pelbagai kontroversinya, gagasan “pro-choice” sendiri telah diangkat secara metaforis, salah satunya melalui media film: “Prometheus”






Bab III: Film “Prometheus” dan Metafora “Pro-Choice

            Setelah membahas secara teoretis, konsep metafora dan “pro-choice”, maka selanjutnya akan dianalisa konsep “pro-choice” yang dihadirkan secara metaforis dalam film “Prometheus”. Terlebih dahulu akan dikemukakan garis besar film itu sendiri.

III.1. Garis Besar Film “Prometheus”
            Film “Prometheus” merupakan buah arahan sutradara Ridley Scott dengan penulis skenario Jon Spaihts dan Damon Lindelof. Kisah film ini bermasa depan tahun 2093. Sebuah tim melakukan ekspedisi luar angkasa dengan pesawat atau lebih tepatnya ‘bahtera angkasa’ bernama Prometheus (diambil dari nama seorang tokoh mitologi Yunani) dilakukan atas teori dua ilmuwan Elizabeth Shaw dan Charlie Holloway yang pada tahun 2089 menemukan gambar di sebuah gua di Skotlandia. Peta ini diinterpretasikan Elizabeth sebagai undangan kepada manusia untuk bertemu dengan “insinyur” (The Engineer) – sebutan Elizabeth untuk pencipta manusia. Ekspedisi ini dipimpin oleh Meredith Vickers (diperankan oleh Charlize Theron), direktur utama di Weyland Corporation (pendana utama ekspedisi ini) dan David (diperankan oleh Michael Fassbender), robot yang diciptakan pemilik Weyland, Peter Weyland (diperankan oleh Guy Pearce) berdasarkan citra bakal putra yang tak pernah dimiliki Peter. Ekspedisi ini akhirnya tiba di planet yang sesuai dengan peta undangan yang tergambar di gua. Sebuah planet yang menyerupai bumi. Di planet inilah tim Prometheus menemukan makhluk dan peninggalan-peninggalan yang mengindasikan bahwa merekalah ‘sang insinyur’. (Utari, 2012:1).
            Hanya saja, ekspedisi ini mengalami kejanggalan demi kejanggalan, terutama hadirnya mahkluk mutan yang membunuh anggota ekspedisi ini satu persatu, hingga tersisa hanya Elizabeth Shaw sendiri. Belum lagi, intrik yang hadir dalam diri David yang menguji coba temuan mutasi genetika di planet tersebut ke dalam diri Charlie Holloway, sehingga mengakibatkan tewasnya pasangan hidup Elizabeth Shaw tersebut secara sangat mengenaskan. Yang mengejutkan adalah bahwa ketika Charlie Holloway terpapar atau terinfeksi dengan mutasi genetika tersebut, ia sempat berhubungan dengan Elizabeth Shaw sehingga arkeolog perempuan itu hamil ‘dengan sangat cepat’, padahal ia menyatakan dirinya mandul. Di sinilah dilema terjadi, di satu sisi Elizabeth Shaw ingin menggugurkan kandungan ‘tak wajar’-nya itu, di sisi lain David ingin mempertahankan janin tersebut demi ambisi analitisnya. (Kearns, 2012:1).
            Setelah menggugurkan kandungannya melalui bedah sesar lewat bantuan alat canggih bernama Med-pod, Elizabeth Shaw kemudian mendapati bahwa mutasi genetika yang dibuat oleh para ‘insinyur’ tersebut ditujukan untuk menghancurkan umat manusia di bumi. Ketika akhirnya Elizabeth Shaw berjumpa dengan satu-satunya ‘insinyur’ yang masih hidup di planet tersebut, ia berusaha menanyakan dan mencari tahu kenapa para ‘insinyur’ ini mencoba menghancurkan makhluk, dalam hal ini manusia, yang mereka ‘ciptakan’ sendiri. Namun, ‘insinyur’ tersebut yang berwujud seperti manusia dengan tubuh  setinggi lebih dari 2,5 meter dan berwarna kulit putih bersih itu malah mengejar dan berusaha membunuh Elizabeth Shaw.

III.2. Analisa atas Metafora “Pro-Choice” dalam “Prometheus”
            Seperti yang dikemukakan sebelumnya, oleh para pengamat dan kritikus film, “Prometheus” memuat metafora yang menonjolkan konsep “pro-choice”. Maka dari itu, pada bagian ini, akan dipaparkan dua contoh dialog dalam film “Prometheus” yang menampikan metafora sebagai penanda konsep “pro-choice” beserta analisanya.
a.       “I want it out of me.” (“Aku ingin itu keluar dari aku.”)
Setelah tokoh Charlie Holloway terbunuh secara tragis karena terinfeksi dengan mutasi genetis di planet asing tersebut, pasangannya, Elizabeth Shaw kemudian diperiksa oleh David untuk mencari tahu jika ia juga terinfeksi. Namun, yang ditemukan dalam pemeriksaan tersebut sangat di luar dugaan mereka. Elizabeth Shaw ternyata hamil. Ini tergambar dalam dialog mereka berikut ini:
David              : My...my... you’re pregnant.
                          (Wah...wah... anda hamil.)
E. Shaw           : What?
                          (Apa?)
David              : From the look of it, it’s three months so.
                          (Dari tampilannya, janin itu berusia tiga bulan.)
E. Shaw           : No, it’s impossible. I can’t be pregnant.
                         (Tidak, itu tidak mungkin. Aku tidak bisa hamil)
David              : Did you have an intercourse with Dr. Holloway?
                          (Apakah anda berhubungan dengan Dr. Holloway?)
E. Shaw            : Yes, but 10 hours ago. There’s no bloody way I’m three months pregnant.
                          (Ya, tetapi 10 jam yang lalu. Sangat tidak mungkin aku hamil tiga bulan.)
David                : Well, it’s not exactly traditional fetus.
                          (Yah, ini tidak persis janin yang biasanya)
E. Shaw            : I want to see it. I want it out of me.
                           (Aku ingin melihatnya. Aku ingin itu dikeluarkan dari aku.)
David                : I’m afraid we don’t have the personnel to perform a procedure like that. Our best option is...
                          (Saya khawatir kami tidak memiliki personil untuk melakukan prosedur seperti itu. Pilihan terbaik kita adalah...)
E. Shaw            : I want it out!
                           (Aku ingin itu keluar!)
Setelah terjadi perdebatan ini, David kemudian membius Elizabeth Shaw dengan maksud agar ia dapat diamankan. Namun kemudian, setelah berhasil melumpuhkan dua orang petugas medis pesawat lainnya, Elizabeth Shaw langsung menuju sebuah alat operasi medis canggih, Med-pod, untuk mengeluarkan dan menghabisi janinnya.

Analisa:
Bagian dialog ini hendak menunjukkan metafora in absentia  yang mana janin sebagai eksistensi yang hidup disebut dengan kata ganti ‘it’ yang merupakan kata ganti orang ketiga tunggal bahasa Inggris yang bersifat netral, dalam artian bukan maskulin atau feminin. Meski dalam bahasa Inggris, kata ganti untuk bayi dan janin adalah memang ‘it’, namun ungkapan penolakan tokoh Elizabeth Shaw atas kehadiran janin di rahimnya tersebut menghadirkan penyimpangan makna. Kata ‘it’ yang diucapkan oleh Elizabeth Shaw dalam dialog tersebut serta merta tidak akan dipahami sebagai janin manusia, tetapi lebih sebagai benda asing yang hidup.
Kekalutan yang dialami oleh Elizabeth Shaw ketika ia mengetahui tiba-tiba dirinya telah hamil merupakan gambaran ekspresi dari sekian perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Kekalutan seperti inilah yang menghantar mereka pada pilihan-pilihan dan salah satunya adalah aborsi. Pilihan untuk aborsi biasanya yang paling dominan diambil oleh mereka yang meyakini kebenaran konsep “pro-choice”. Dengan demikian bagian dialog ini menjadi bagian inti dari metafora “pro-choice” yang hendak dihadirkan dalam film “Prometheus.

b.      “They changed their minds” (Mereka mengubah pikiran mereka)
Pada bagian akhir film ini, terdapat dialog yang juga memuat metafora “pro-choice”, antara David (yang telah terpisah antara kepala dan badannya) dengan Elizabeth Shaw. Robot itu menanyakan kepada perempuan itu, kenapa, setelah lolos dari semua bencana di planet asing tersebut, ia malah ingin pergi ke planet asal para “insinyur” tersebut dengan pesawat yang tersisa dan bukannya kembali ke Bumi. Elizabeth Shaw ingin mencari tahu semuanya. Berikut ini adalah dialog yang dimaksud beserta analisanya:
David              : May I ask what you hope to achieve by going there?
                         (Boleh saya tahu apa yang anda harap peroleh dengan pergi ke sana?)
E. Shaw            : They created us, then they tried to kill us. They changed their minds. I deserved to know why.
                          (Mereka menciptakan kita, kemudian mereka mencoba membunuh kita. Mereka mengubah pikiran mereka. Aku patut tahu kenapa.)

Analisa:
Metafora in praesentia yang dihadirkan melalui ungkapan Elizabeth Shaw “They changed their minds” (“Mereka mengubah pikiran mereka”) tersebut menggambarkan suatu kontradiksi bahwa setelah ‘menciptakan’ manusia, para ‘insinyur’ tersebut kemudian malah ingin membunuh ‘ciptaan’ mereka, hanya karena mereka berubah pikiran. Metafora ini hendak menggambarkan kenyataan bahwa aborsi dapat terjadi oleh karena seorang perempuan yang hamil dapat berubah pikiran mengenai janinnya. Konsepsi atau persetubuhan bisa dipandang sebagai metafora penciptaan manusia baru. Sementara aborsi merupakan praktek ‘penghilangan’ janin yang merupakan cikal bakal manusia baru. Metafora dari dialog ini hendak menyentil anggapan dari gerakan “pro-life” yang lebih melihat aborsi semata-mata sebagai tindak pembunuhan. Sementara itu dari sisi “pro-choice”, pilihan yang berbeda dapat diambil ketika seorang perempuan berubah pikiran mengenai janinnya akibat permasalahan pelik yang ia hadapi, entah dari sisi ekonomi, medis atau sisi lainnya. Bisa saja terjadi, bahwa aborsi yang dilakukan oleh para perempuan hamil terjadi karena mereka berubah pikiran dan itu satu pilihan (choice) yang mereka ambil beserta dengan segala konsekuensinya.


Kesimpulan

            Melalui contoh dua dialog penting dalam “Prometheus” yang telah dibahas sebelumnya, dapat ditunjukkan bahwa film tersebut telah berhasil mengusung metafora “pro-choice”. Kreativitas dari para penulis skenario (Jon Spaihts dan Damon Lindelof) dalam menulis dialog-dialog yang ‘membungkus’ konsep “pro-choice” berpadu dengan tangan dingin sang sutradara, Ridley Scott. Hasilnya adalah “Prometheus” tidak hanya dihadirkan sebagai film fiksi ilmiah futuristis belaka, namun film tersebut mampu mengangkat konsep yang selama ini telah menjadi kontroversi karena tuntutannya untuk membebaskan tiap perempuan melakukan aborsi seturut pilihan dan keputusannya sendiri: “pro-choice
            Kreativitas dalam bermetafora telah dibuktikan tidak hanya berlangsung dalam bahasa percakapan sehari-hari, namun juga dalam dialog-dialog virtual yang disimak dalam sebuah film. Hal ini hendak mengindikasikan betapa kayanya kemampuan berbahasa manusia, sekaligus menjadi pijakan untuk mengembangkan kreativitas yang serupa dalam media yang berbeda. Terutama di era media sosial, kreativitas seperti ini akan dapat dikembangkan lebih jauh. Tujuannya adalah untuk mengusung gagasan dan konsep yang sekiranya dapat membuka khasanah berpikir lebih banyak orang.
            Perlu dicatat dan diperhatikan bahwa keseluruhan makalah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mempromosikan atau membela konsep dan gerakan “pro-choice”, tetapi terlebih untuk mengedepankan bahasan mengenai metafora. Dalam hal ini, metafora sebagai karya kreativitas manusia yang berbahasa mampu dimanfaatkan untuk mengusung konsep atau gagasan yang selama ini menjadi kontradiksi di tengah masyarakat bahkan yang bersifat sensitif sekalipun, agar dapat dipahami secara lebih berimbang.
             Ray Bradbury, seorang penulis novel-novel fantasi dari Amerika Serikat pernah mengungkapkan bahwa, “I think the reason my stories have been so successful is that I have a strong sense of metaphor.” Keberhasilan Bradbury dalam tulisan-tulisannya ternyata ditentukan oleh rasa yang kuat akan metafora. Dengan demikian, metafora semakin ditegaskan sebagai sarana atau alat dari manusia atau masyarakat yang berbahasa untuk mengungkapkan gagasan atau konsep yang sulit diungkapkan secara langsung dan terbuka.

“When I can’t talk sense, I talk metaphor
(Ketika saya tidak dapat mengatakan rasa, saya mengucapkan metafora)
-John Philpot Curran (politikus Irlandia abad ke 18)-

Daftar Referensi

1.      Film:
Scott, Ridley (Director). 2012. Prometheus. Los Angeles: 20th Century Fox.

2.      Sumber-sumber Internet:
Amalia, Yendi. 2010. Aborsi Sebagai Suara Hati Perempuan. (http://samsara-artikel.blogspot.com/2010/01/aborsi-sebagai-suara-hati-perempuan.html)
Head, Tom. _________. Pro Life vs Pro Choice. (http://civilliberty. about.com/od/abortion/tp/Pro-Life-vs-Pro-Choice.htm)
Kearns, Megan. 2012. Is ‘Prometheus’ a Feminist Pro-Choice Metaphor. (http://www.btchflcks.com/2012/06/is-prometheus-feminist-pro-choice.html).
Utari, Dewi Ria. 2012. Prometheus, Ekspedisi Menemukan Sang Pencipta. (http://www.beritasatu.com/film/52709-prometheus-ekspedisi-menemukan-sang-pencipta.html)

3.      Literatur Kepustakaan:
Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. Massachusets: Blackwell Publishers. Ltd.
Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT. Gramedia.
Kusuma, Okke, dkk. 2011. Telaah Wacana: Teori dan Penerapannya. Depok: The Intercultural Institute.
Ruse, Cathy Cleaver dan Schwarzwalder, Rob. 2011. The Best Pro-Life Arguments for Secular Audiences. Washington D.C.: Familiy Research Council.

Subroto, Edi H., Prof., Dr. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: PT. Cakrawala Media. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar