Jumat, 02 Oktober 2015

Pelanggaran Maksim Kerjasama dalam Novel "Manusia Setengah Salmon" karya Raditya Dika

PENDAHULUAN
            Dunia hiburan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini semakin diramaikan dengan kehadiran jenis hiburan komedi terbaru, yakni stand up comedy. Yang dimaksud dengan stand up comedy adalah bentuk dari seni komedi atau melawak yang disampaikan secara monolog kepada penonton. Biasanya ini dilakukan oleh secara live dan komedian akan melakukan one man show. Meskipun disebut dengan stand up comedy, stand up comedian  atau yang sering disebut dengan istilah ‘comic’ tidaklah selalu berdiri dalam menyampaikan komedinya. Ada beberapa ‘comic’ yang melakukannya dengan duduk di kursi persis seperti orang yang bercerita. (Affan, 2012: 5)
Stand up comedy di Indonesia sebenarnya sudah dimulai oleh Alm. Taufik Savalas yang hanya menyampaikan anekdot-anekdot lucu lewat acara Comedy Cafe, namun acara ini kurang populer. Usahanya ini kemudian diteruskan oleh Iwel Wel yang mengisi acara “Jayus Plis Dong Ah” dan juga acara “Bincang Bintang” yang memang didesain untuk stand up comedy. Sayangnya acara ini juga tidak begitu populer. (Affan, 2012: 22)
Stand up comedy yang sebenar-benarnya mulai diangkat ke dunia pertelevisian ketika Kompas TV mulai mengudara. Stasiun TV yang berafiliasi dengan harian terbesar di Indonesia yakni Kompas mengadakan audisi dan kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (disingkat SUCI) yang diikuti comic-comic pemula dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Selain itu, Metro TV juga ikut menyiarkan acara Stand Up Comedy Show yang diisi oleh para comic profesional. Melalui peran jejaring sosial media pula, stand up comedy mulai merebak dan menjamur di seluruh Indonesia dengan hadirnya kelompok atau grup comic di pelbagai kota.
Di antara para comic kenamaan di Indonesia salah satu nama yang patut diperhitungkan memiliki kapasitas sebagai comic dengan materi yang paling digemari oleh para remaja di Indonesia adalah Raditya Dika. Ia memulai kiprahnya sebagai comic dengan terlebih dahulu menjadi seorang blogger (penulis blog) semasa ia menempuh studi di Australia. Blog-nya yang diisi dengan kisah pengalaman pribadinya yang sebagian besar menceritakan segala bentuk kebodohan dan kekonyolan yang ia lakukan. Sebagian besar isi blog-nya tersebut ia bukukan dan laku di pasaran. Isi blog-nya itu pulalah yang kemudian ia jadikan sebagai materi dalam stand up comedy-nya. Dari sekian buku-buku yang ia terbitkan tdua di antaranya telah difilmkan, yakni Kambing Jantan dan Cinta Brontosaurus. Ia juga membuat serial komedi yang ditayangkan di Kompas TV dengan judul Malam Minggu Miko. Serial ini pun juga menjadi sedemikian populer dan difilmkan dengan judul Cinta Dalam Kardus.
Dari kacamata linguistik, hampir seluruh materi blog, buku dan filmnya merupakan wujud dari pelanggaran prinsip kerjasama yang justru menghadirkan kelucuan yang khas. Pola yang sama juga hadir di karyanya yang berjudul “Manusia Setengah Salmon”. Maka dari itu, rumusan masalah yang hendak diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Pelanggaran prinsip kerjasama apa saja yang dapat ditemukan dalam buku “Manusia Setengah Salmon” karya Raditya Dika?
b.      Bagaimana analisis atas pelanggaran prinsip kerjasama dalam buku “Manusia Setengah Salmon” karya Raditya Dika?

Sebagai metode dalam makalah ini adalah deskriptif kualitatif, yakni dengan mendata pelanggaran-pelanggaran prinsip kerjasama yang ditemukan dalam buku “Manusia Setengah Salmon”. Pelanggaran-pelanggaran yang diketemukan tersebut kemudian akan dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai prinsip kerjasama.


1.        MENGENAI “MANUSIA SETENGAH SALMON”
“Manusia Setengah Salmon” merupakan buku keenam dari Raditya Dika yang isinya masih merupakan kisah pengalaman kehidupannya, sama seperti buku-bukunya sebelumnya dan juga olahan twit-twit dari akun Twitter  penulis sendiri: @RadityaDika. Di dalam buku dengan tebal 258 halaman dan terdiri atas 19 bab ini, Raditya Dika banyak menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan keluarga, kisah cintanya bahkan dengan supirnya. Tema-tema yang ia angkat lebih berkisar mengenai relasi dengan orang lain, yakni kisah masa kecil dan masa remajanya, interaksi dengan keluarganya, hingga jatuh bangunnya untuk membangun relasi ekslusif dengan para gadis yang ia taksir.
Cara Raditya Dika berkisah dalam buku ini memang sungguh unik, yakni seperti seseorang yang sedang curhat, sehingga seolah ia menganggap para pembacanya sebagai teman yang siap mendengarkan kisah hidupnya. Kepolosan, kejujuran dan keterbukaan dirinya untuk menceritakan, tidak hanya kegembiraan ataupun kebahagiaan, tetapi juga kebodohan, kesialan, kekonyolan dan juga kegundahannya menyebabkan buku ini seperti buku harian yang siap disimak oleh siapa saja. 


2.        KAJIAN TEORI: PRINSIP KERJASAMA
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan prinsip kerjasama, akan dipaparkan terlebih dahulu dialog antara seorang pria dan seorang wanita berikut ini:
Pria                  : “Apakah anjing anda menggigit?”
Wanita             : “Tidak.”
(Pria itu lalu mencoba membelai anjing itu dan tiba-tiba saja anjing itu menggigit tangannya.)
Pria                    : “Aduh, hei, tadi anda bilang anjing anda ini tidak menggigit!”
Wanita               : “Memang tidak. Yang ini bukan anjing saya.”

Salah satu masalah dalam dialog di atas sangat erat berhubungan dengan komunikasi. Secara khusus terjadi masalah yang disebabkan oleh asumsi si pria yang lebih banyak menerima informasi dari pada yang dikatakan. Masalah ini bukan masalah yang berkaitan dengan dugaan awal di dalam frase ‘anjing anda’ (yakni: wanita itu memiliki seekor anjing) yang mana memang benar bagi kedua orang tersebut. Masalahnya adalah asumsi si pria bahwa pertanyaanya, “Apakah anjing anda menggigit?” dan jawaban wanita itu “Tidak”, keduanya memang mengacu pada anjing di depan mereka. Dari sudut pandang si pria, jawaban si wanita itu memberikan informasi yang kurang dari yang diharapkan oleh si pria. Dengan kata lain, perempuan itu mungkin diharapkan untuk memberikan informasi yang dinyatakan dalam baris terakhir. Tentu saja, jika dia telah menyebutkan informasi ini lebih dulu, dialog tersebut di atas tidak akan menjadi sedemikian lucu. Konsep mengenai adanya sejumlah informasi yang diharapkan terdapat dalam satu dialog hanya merupakan salah satu aspek gagasan yang lebih umum bahwa orang-orang yang terlibat dalam suatu percakapan akan bekerja sama satu dengan yang lain. Pada banyak kesempatan, asumsi kerjasama itu begitu meresap sehingga dapat dinyatakan sebagai suatu prinsip kerja sama (Yule, 2002: 36).
Salah satu pakar linguistik yang menggagas teori mengenai prinsip kerja sama adalah H.P. Grice. Ia mengawali teorinya ini dengan mengajukan suatu sistem logika percakapan yang didasari atas sejumlah maksim percakapan yakni prinsip-prinsip intuitif yang dimaksudkan untuk menuntun interaksi dalam percakapan demi menjaga prinsip kerjasama yang umum. Prinsip kerjasama tersebut adalah sebagai berikut (Verschueren, 1999:32) :
Buatlah sumbangan percakapan anda sejauh yang dibutuhkan, pada tingkat yang mana itu terjadi, dengan tujuan dan arah yang diterima dalam pertukaran pembicaraan dalam mana anda terlibat.
Sedangkan yang menjadi maksim-maksimnya adalah:
a.       Maksim kuantitas:
1)      Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif yang dibutuhkan untuk tujuan percakapan yang sekarang.
2)      Jangan membuat sumbangan percakapan anda lebih informatif dari yang dibutuhkan.
b.      Maksim kualitas: Cobalah untuk membuat sumbangan percakapan anda benar adanya:
1)      Jangan katakan apa yang anda percaya salah.
2)      Jangan katakan hal-hal yang anda tahu tidak terbukti secara nyata.
c.       Maksim relasi atau relevansi: Jadilah relevan.
d.      Maksim sikap: Jadilah cerdik
1)      Hindari ketidakjelasan ungkapan anda.
2)      Hindari ambiguitas.
3)      Singkatlah.
4)      Teraturlah.

Singkatnya, maksim-maksim mengkhusukan apa yang penutur harus lakukan untuk mencapai cara kerjasama yang rasional, efisien dan maksimal: penutur harus berkata tulus, relevan dan jelas ketika menyedikan informasi yang cukup (Levinson, 1983: 102).


3.        TEMUAN DAN ANALISIS PELANGGARAN PRINSIP KERJASAMA DALAM BUKU “MANUSIA SETENGAH SALMON”
Pada bagian ini akan dipaparkan temuan dan analisa atas pelanggaran prinsip kerjasama dalam buku “Manusia Setengah Salmon” karya Raditya Dika. Pemaparan akan dilakukan dengan memberikan contoh-contoh pelanggaran prinsip kerjasama, termasuk pelanggaran atas maksim-maksimnya, yang dapat ditemukan dalam buku tersebut.
a.       Contoh pelanggaran prinsip kerjasama.
Contoh 1:
Nama sopir gue Sugiman. Gue mendapatkan Sugiman dari kenalan Nyokap. Dia tahu gue sedang mencari sopir, dan katanya, Sugiman bisa jadi orang yang tepat. Sewaktu gue tanya kenapa, ternyata di berpendapat begitu karena gue berbintang Capricorn dan Sugiman berbintang Virgo. Cara yang tidak lazim untuk merekomendasikan sopir kepada orang lain.
‘Mama udah lihat orangnya?’ tanya gue ke Nyokap.
‘Sugiman? Udah.’
‘Kayak gimana?’
‘Orangnya kumisan, rapi, pokoknya orangnya baik kok, Dika,’ kata Nyokap.’Emang kenapa?’
‘Hmmm, gimana ya,’ kata gue, masih belum yakin.
‘Nyokap memegang pundak gue.’Udah, kamu coba kenal aja dulu aja, nanti kalau udah saling kenal kan, gampang. Mama rasa, sih, dia cocok untuk kepribadian kamu. Mudah-mudahan dia yang tepat buat kamu, Dika.’
(Bab “Bakar Saja Keteknya”, hlm. 48)
Analisis: Dalam percakapan yang berisi rekomendasi ibu Raditya Dika mengenai sopir yang hendak dicari oleh Dika, sang ibu memberikan informasi yang tidak begitu dibutuhkan dan telah melampaui tingkatan percakapan yang semestinya, karena sudah menyinggung kemungkinan kedekatan antara si sopir dengan Dika.

b.      Contoh pelanggaran maksim kuantitas.
Contoh 1:
‘Jadi begini Dika.’ Bokap duduk di samping gue. Dia menghapus keringat yang membasahi dahinya. ‘Kamu tahu apa itu Merpati Putih?’
‘Yang silat-silat itu, Pa?’ gue balik bertanya.
‘Bukan hanya silat-silat itu, Dika. Tapi, silat dengan tenaga dalam. Dari dalam tubuh kita. Dengan ilmu pernapasan.’ Bokap menepuk pundak gue, layaknya seorang ayah yang sedang bercerita tentang kejayaan masa lalunya. ‘Papa dulu sempat ikut Merpati Putih. Waktu Papa lagi nyobain jurus Merpati Putih, tahu apa yang terjadi?’
‘Apa, Pa?’
Bokap memandangi mata gue. ‘Papa kentut, Dika. Papa kentut,’ jawabnya tanpa keraguan.
(Bab “Ledakan Paling Merdu, hlm. 6)
Analisis: Pada dialog ini terjadi pelanggaran maksim kuantitas, karena ayah dari Raditya Dika memberikan informasi yang sejatinya tidak berkaitan dengan topik yang dibicarakan, yakni informasi mengenai jurus-jurus silat yang justru ditanggapi dengan soal kentut.

Contoh 2:
Semakin mobil mendekati Anumoto, cewek-cewek genit yang menggeliat di depan pintu tempat-tempat karaoke tersebut terlihat semakin jelas. Kalau malam biasa sih gak papa, tetapi ini kan gue lagi first date. Gue langsung ngerasa gak enak sama Patricia, gadis manis baik-baik yang sedang duduk di sebelah gue ini.
‘Ini...kita mau ke mana ya?’ tanya Patricia. Mungkin gara-gara ngeliat cewek-cewek menggelinjang di emperan-emperan, Patricia jadi ngerasa gue punya niat jahat pada dirinya. Ini tidak baik.
‘Pokoknya, gak ada hubungannya sama cewek-cewek itu deh,’kata gue. Gue lalu ketawa nervous.
(Bab “Pesan Moral dari Sepiring Makanan”, hlm. 92)
Analisis: Pada dialog ini, Raditya Dika memberikan informasi yang tidak dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Patricia, lawan bicaranya, membutuhkan informasi yang berkaitan dengan tempat yang dituju, namun Raditya Dika memberikan informasi negasi yang berkaitan dengan kesekitarannya. Sehingga di sini, Raditya Dika melakukan pelanggaran maksim kualitas berkaitan dengan informasinya tersebut.

c.       Contoh pelanggaran maksim kualitas.
Contoh 1:
T: Bang @radityadika kalo Ujian Nasional enaknya pake pensil merek apa ya? (dari @marchafc)
J: Swallow.
(Bab “Akibat Bertanya ke Orang yang Salah tentang Ujian, hlm. 16).
Analisis: Dialog ini diambil dari pertanyaan seorang follower di akun twitter Raditya Dika. Yang terjadi adalah pelanggaran maksim kualitas, karena ketika ditanya mengenai merek pensil, Raditya Dika malah memberikan informasi yang salah, yakni dengan menyebut ‘Swallow’ yang notabene merupakan merek sandal jepit.

Contoh 2:
‘Aku udah laper nih.’ Anggi, adik yang lain kutan sewot. ‘Restorannya udah deket kan?’
‘Uh, iya, Abang yakin kita udah dekat,’ kata gue, berbohong.
(Bab “Pesan Moral dari Sepiring Makanan, hlm. 73)
Analisis: Dialog ini selain menunjukkan keterdesakan Raditya Dika atas pertanyaan Anggi, adiknya, juga hendak menampilkan contoh pelanggaran maksim kualitas, karena ia memberikan informasi yang ia yakini salah dan nantinya tidak dapat terbukti secara nyata, karena pada kelanjutannya, mereka tidak menemukan restoran yang mereka cari.

d.      Contoh pelanggaran maksim relasi (relevansi).
Contoh 1:
Setengah mengigau, Nyokap nanya, ‘Ken...kenapa perut...kamu?’
‘Perutku sakit banget. Gimana ini, Ma? Aduh...’
Masih setengah sadar, Nyokap menggaruk-garuk kepalanya dan berkata, ‘Kucing tetangga emang suka masuk ke rumah...’
(Bab “Ledakan Paling Merdu, hlm. 8)
Analisis: Pada dialog ini terjadi pelanggaran maksim relasi, karena ibu Raditya Dika tidak memberikan jawaban yang relevan atas pertanyaan Dika mengenai sakit perut yang sedang ia rasakan. Sang ibu malah memberikan informasi mengenai kucing tetangga.

Contoh 2:
Setengah sewot, gue bertanya kepada Sugiman,
‘Pak? Sudah dipakai belum sih deodorannya?’
‘Udah, Bang,’ kata Sugiman.
Astaga.
Saat itu, gue berpikir, ternyata deodoran juga tidak bisa memusnahkan bau ketek si Sugiman. Sugiman, mahkluk terkutuk macam apakah engkau?!
‘Beneran, Pak?’
‘Iya, Bang. Aku pakai sebelum tidur.’
‘Ya, iyalah masih bau! Emangnya kayak sikat gigi sebelum tidur?’
(Bab “Bakar Saja Keteknya” hlm. 64)
Analisis: Dalam dialog ini Sugiman melakukan pelanggaran maksim relevansi, karena jawabannya atas pertanyaan Dika soal pemakaian deodoran. Pemakaian deodoran yang mestinya dilakukan pada pagi hari sebelum beraktivitas justru dilakukan oleh Sugiman pada malamnya ketika hendak tidur. Informasi yang diberikan oleh Sugiman kemudian menjadi tak lagi relevan.

e.       Contoh pelanggaran maksim sikap.
Contoh 1:
‘Ya udah. Mama ke bawah deh!’ seru Nyokap, lalu menutup pintu kamar gue.
Hening.
Beberapa detik kemudian, dia membuka pintu kamar gue lagi.
‘Pokoknya kamu jangan takut ya, Dika,’ kata Nyokap, wajahnya tersembul separuh dari balik pintu kamar yang setengah terbuka. ‘Adik-adik kan semua tidur di bawah sama Mama. Lampu lantai dua semuanya udah mati. Tangganya aja gelap. Jangan takut ya. Mama turun ya.’
‘Iya iya’, kata gue yang memang tidak takut.
Gue menghela napas, kembali memandangi langit-langit kamar.
Nyokap menutup pintu.
Hening.
Beberapa detik kemudian, kepala Nyokap kembali nongol dari balik pintu. Dia bilang, ‘Dik,kamu enggak haus?’
Gue menggelengkan kepala. ‘Enggak, kenapa,Ma?’
‘Yakin gak haus? Coba kamu rasain dulu, kamu haus kali...’
‘Enggak. Kenapa, Ma?’
‘Pasti kamu haus. Orang itu kadang gak sadar kalau dia haus, eh tiba-tiba dehidrasi. Bahaya loh. Nah, di bawah ada minum. Jadi, kalau mau turun, sekalian aja sama Mama.’
‘Mama...takut turun sendirian ya?’ tanya gue.
‘Ini semua gara-gara kamu Dika, pake cerita soal kuntilanak segala! Durhaka kamu ya!’ Nyokap sewot.
(Bab “Sepotong Hati di Dalam Kardus Coklat”, hlm. 34-35)
Analisis: Pada dialog ini, terjadi pelanggaran maksim sikap, karena terjadi ketidakjelasan dan tuturan bertele-tele dari ibu Raditya Dika yang merasa ketakutan setelah mendengar cerita Dika mengenai kuntilanak. Ia menutup-nutupi ketakutannya dengan pertanyaan apakah Dika merasa takut dan kemudian beralih dengan pertanyaan apakah Dika merasa haus.


KESIMPULAN
            Untuk membangun komedi yang lucu dibutuhkan kemampuan yang baik untuk melanggar setiap prinsip kebahasaan yang ada, termasuk prinsip kerjasama (dalam percakapan). Hal inilah yang sukses dibangun oleh Raditya Dika dalam pelbagai karyanya, tak terkecuali dalam bukunya “Manusia Setengah Salmon”. Meskipun buku tersebut tidak ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi dengan bahasa gaul, justru itulah yang menjadi sarana Raditya Dika melanggar prinsip-prinsip kebahasaan demi menyajikan komedi yang lucu dalam bukunya tersebut.
            Bentuk-bentuk pelanggaran kerjasama, termasuk maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim sikap, berhasil ditampilkan oleh Raditya Dika dalam bukunya tersebut. Inilah yang membuat buku “Manusia Setengah Salmon” sedemikian lucu dan kemudian memancing gelak tawa para pembacanya. Melalui karyanya, Raditya Dika seolah hendak menunjukkan bahwa kelucuan bisa dibangun dengan mengeksploitasi keabsurdan cara berpikirnya sendiri, meski kemudian harus melanggar prinsip-prinsip kebahasaan yang ada.


DAFTAR PUSTAKA
Affan. 2012. Stand Up Comedy. Yogyakarta: Immortal Publisher

Dika, Raditya. 2012. Manusia Setengah Salmon. Jakarta: Gagas Media.

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Verschueren, Jef. 1999. Understanding Pragmatics. London: Arnold


Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar