Jumat, 02 Oktober 2015

BELAJAR DARI TUTUR SANG PUTRA MENTENG DALAM (Analisa atas Pidato Barack Obama menurut Teori Tindak Tutur J.L. Austin)

Pendahuluan

            Sejarah Indonesia sejatinya telah melahirkan sekian banyak orator ulung yang mampu menggerakkan hati para pendengar mereka. Yang paling dapat kita kenang dan kagumi adalah presiden pertama republik ini yakni Ir. Soekarno. Selain didukung oleh kharisma seorang pemimpin besar, Soekarno memiliki kemampuan luar biasa untuk menyampaikan ide dan gagasannya hingga mampu memberi pengaruh dan menggerakan setiap orang yang menyimaknya. Meski tak lepas dari segala kontroversi, Soekarno tetap diakui sebagai salah satu orator terbesar Indonesia yang pernah hadir dalam sejarah negeri ini. Pertimbangan utamanya adalah bagaimana tindakan dan perjuangan Soekarno bagi negeri ini sejalan dengan apa yang ia suarakan dalam orasi dan pidatonya.
            Pada masa sekarang, nyaris tiada lagi pribadi dan orator yang memiliki kemampuan menggerakkan orang lain melalui suaranya sekaliber Soekarno. Bangsa ini telah kehilangan figur yang tindakannya sejalan dengan kata-katanya sendiri. Banyak orang telah menyatakan diri sebagai pemimpin, namun mereka bahkan tak terlihat memimpin oleh karena inkonsistensi antara kata-kata dan tindakan mereka. Dinding birokrasi telah menunjukkan bagaimana mereka lebih paham untuk memerintah daripada memimpin. Orasi dan pidato yang mereka sampaikan tidak lebih dari retorika kosong yang hanya memberi sekian banyak harapan palsu, karena tidak diikuti dan dibarengi oleh tindakan nyata.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat negeri ini telah sekian banyak kali dikecewakan oleh inkonsistensi antara tindak tutur (speech acts) para pemimpin mereka. Amanat rakyat negeri ini hanya bisa dijawab pada tingkat gagasan dan kata, padahal tindakan nyatalah yang paling dinantikan. Kesenjangan seperti ini di mata beberapa elemen masyarakat terlihat sengaja dibiarkan. Meski optimisme menyeruak dengan kehadiran Joko Widodo di provinsi DKI Jakarta dengan tindak dan tuturnya yang cukup selaras, namun masih banyak bukti nyata yang harus ia tunjukkan kepada masyarakat yang dipimpinnya.
            Maka dari itu, lewat makalah ini, penulis hendak memaparkan bagaimana tindak tutur yang semestinya ditunjukkan oleh para pemimpin negeri ini. Penulis merasa perlu untuk mengambil contoh yang optimal, meski figur yang dipaparkan berasal dari negeri lain. Dengan memberi judul “Belajar dari Tutur Sang Putra Menteng Dalam”, penulis hendak memaparkan kekuatan tutur yang diikuti konsistensi tindakan yang telah ditunjukkan oleh Presiden Amerika saat ini –yang selama empat tahun (1967-1970) menghabiskan masa kecilnya di Menteng Dalam, Jakarta dan sedang menjalani masa pemerintahan keduanya-, Barack Hussein Obama[1] (selanjutnya ditulis ‘Obama )
            Salah satu pertimbangan dipilihnya Obama dalam pembelajaran tindak tutur di makalah ini adalah kenyataan bahwa ia adalah salah satu pemimpin dunia yang paling menonjol saat. Lebih daripada itu, pidato dan orasinya telah menuai pujian dan pengakuan banyak orang, tidak hanya di negeri asalnya sendiri, tetapi di juga belahan dunia lain. Selain bahwa mampu ia menggerakkan sekian pendengarnya, Obama tidak sekedar bertutur, namun di dalam tuturannya sudah terkandung tindakan yang hendak ia jalankan. Maka yang menjadi permasalahan utama dalam makalah Sosiolinguistik ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah pidato Barack Obama bisa menggerakkan dan menggugah masyarakat yang menjadi pendengarnya?
b.      Tindak tutur seperti apakah yang ditampilkan oleh Barack Obama dalam pidato-pidatonya?
c.       Apa yang bisa dipelajari oleh masyarakat Indonesia, terutama para pemimpinnya, dari tindak tutur Barack Obama dalam pidato-pidatonya?
Sebagai langkah pembahasan dalam makalah Sosiolinguistik ini, maka penulis telah mengambil lima pidato Obama sebagai sampel. Kemudian sebagai alat analisanya adalah Teori Tindak Tutur (Speech Acts) yang dikemukakan oleh John Langshaw Austin (selanjutnya ditulis ‘J.L. Austin’). Pertimbangan dipilihnya teori ini, dikarenakan Austinlah yang secara filsafati dan dengan sistematis menganalisa dan menjelaskan tindak tutur. Dengan demikian, skema pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Bab I: Teori Tindak Tutur oleh J.L. Austin
Dalam bab pertama ini, penulis akan memperkenalkan figur J.L. Austin, seorang filsuf bahasa dari Universitas Oxford, beserta karya pemikirannya. Penulis akan berfokus pada salah satu karya Austin, yakni buku How to do Things Words. Dalam buku inilah, Austin memaparkan secara sistematis Teori Tindak Tuturnya.

b.      Bab II: Analisa Tindak Tutur dalam Pidato Obama.
Selanjutnya, dalam bab kedua makalah ini, penulis akan memaparkan tiga pidato Obama yang telah dipilih dari berbagai tema. Masing-masing pidato tersebut kemudian akan dianalisa dari segi tindak tuturnya sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh J.L. Austin.
c.       Kesimpulan dan Saran
Sebagai penutup dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hasil analisa pidato-pidato Obama yang sekaligus akan menjadi kesimpulannya dan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang telah diajukan dalam bagian Pendahuluan. Dari situ, penulis akan mengajukan saran-saran yang sekiranya dapat menjadi pembelajaran bersama bagi penulis dan semua pihak yang menyimak makalah ini.



Bab I: Teori Tindak Tutur oleh J.L. Austin

            Awal abad 20 merupakan masa-masa kelahiran Filsafat Bahasa yang dipandang sebagai aliran pemikiran yang paling fenomenal dan dikategorikan sebagai logosentris, karena fokusnya pada bahasa sebagai pusat wacana filsafat. Melalui prinsip bahwa suatu ungkapan bahasa harus sesuai dengan pemakaian dan aturan tertentunya, Filsafat Bahasa bahkan dianggap memiliki metode yang kritis dan netral, karena mampu membersihkan bahasa para filsuf sebelumnya dari pemikiran yang melingkar-lingkar dan tidak jelas dan tidak terlibat dengan realitas terutama di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain hal ini, metode yang digunakan Filsafat Bahasa juga dianggap sebagai metode yang khas dalam ilmu filsafat, karena selain digunakan untuk mencari hakikat bahasa juga sekaligus dapat dijadikan teori untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan bahasa (Wibowo, 2011:4)
            Dari segelintir figur filsuf Filsafat Bahasa, dua di antaranya dapat disebutkan telah memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan pemikiran Filsafat Bahasa: Ludwig Wittgenstein dan J.L. Austin. Wittgenstein merupakan peletak dasar Filsafat Bahasa modern, sedangkan J.L. Austin, murid Wittgenstein, adalah penerusnya. Makalah ini akan berfokus pada J.L. Austin, karena pemikirannya mengenai tindak tutur akan menjadi alat analisa pidato Obama dalam bab selanjutnya.

a. Hidup dan Karya J.L. Austin
            J.L. Austin lahir pada tanggal 26 Maret 1911 di Lancaster, Inggris. Ia belajar filologi klasik serta filsafat di Oxford dan menjadi profesor di sana. Pada masa Perang Dunia II, ia bertugas sebagai tentara pada British Intelligence Corps dan mencapai pangkat letnan-kolonel. Meski ia sendiri menerbitkan sangat sedikit beberapa paper-nya yang ia bawakan pada pertemuan-pertemuan ilmiah, namun dengan kuliah-kuliahnya dan diskusi-diskusi berkala, ia memberi pengaruh besar dalam kalangan filsuf bahasa di Oxford. Di antara para filsuf di Inggris, mungkin tidak ada orang yang begitu bersemangat menyelidiki bahasa pergaulan yang biasa seperti J.L. Austin. Ia yakin bahwa orang dapat belajar banyak dengan memperhatikan bahasa orang lain. Dalam bahasa, terdapat banyak sekali distingsi dan nuansa halus, yang diperkembangkan selama banyak generasi oleh masyarakat pengguna bahasa dalam usaha untuk mengungkapkan pemikiran mereka. Dari pada itu, J.L. Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret di mana ucapan-ucapan tersebut dan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan dengannya. Pertanyaan yang sering diketengahkan oleh J.L. Austin adalah what to say when, di mana unsur bahasa (what) dianggap sama penting dengan dunia fenomena (when). (Bertens, 2002:60-61)
            Karya-karya besar J.L. Austin (yang diterbitkan setelah meninggalnya di tahun 1960 oleh J.O. Urmson dan G.J. Warnock) adalah sebagai berikut:
-          Philosophical Papers (1961): kumpulan sejumlah makalah yang pernah dibawakan oleh J.L. Austin dalam pelbagai kesempatan,
-          Sense and Sensibilia (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang pernah ia bawakan di Universitas Oxford,
-          How to Do Things with Words (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang ia bawakan di Universitas Harvard, Amerika Serikat, pada tahun 1955.

b. Teori Tindak Tutur (Speech Acts)
            Dalam karyanya How to Do Things with Words-lah, J.L. Austin sendiri berusaha untuk memperincikan teori tindak tutur (speech acts) yaitu tindakan bahasa yang berperan ketika seseorang mengucapkan suatu kalimat atau ucapan. Teori tindak tutur, yang dilandasi oleh pemikiran mentornya, Wittgenstein, tersebut dibangun oleh Austin melalui tesis “dalam mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan sesuatu pula”. Pada prinsipnya tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama. Tiap pernyataan yang dituturkan mencerminkan tindakan si penuturnya itu. Dalam ungkapan lain, tindak tutur tidak hanya mengungkapkan gaya bicara si penutur, tetapi juga merefleksikan tanggung jawab si penutur terhadap isi tuturannya, mengingat isi tuturannya itu mengandung maksud-maksud tertentu dalam mempengaruh pendengarnya. J.L. Austin membagi tindak tutur ke dalam tiga jenis, yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary acts) dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts). (Wibowo, 2011:36-37)
            Berikut ini adalah uraiannya:
1)      Tindak lokusi, yaitu tindak tutur si penutur dalam menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur itu untuk melaksanakan isi tuturannya. Austin menggolongkan tindak lokusi ke dalam tiga sub-jenis:
-          Tindak fonetis (phonetic acts), yakni tindak mengucapkan bunyi tertentu.
-          Tindak fatis (phatic acts), yakni tindak tutur mengucapkan kosakata tertentu yang membentuk suatu gramatika tertentu yang dikenal pula sebagai kalimat langsung.
-          Tindak retis (rhetic acts), yakni tindak tutur dengan tujuan melaporkan apa yang dituturkan si penutur, yang juga disebut sebagai kalimat tak langsung.
2)      Tindak ilokusi, yakni tindak tutur si penutur yang hendak menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya. Dengan kata lain, dalam tuturan tersebut terkandung suatu kekuatan yang mewajibkan si penutur melaksanakan apa yang dituturkannya. J.L. Austin membagi tindak ilokusi ke dalam lima sub-jenis:
-           Verdiktif (verdictives acts), yakni tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah, namun keputusan tersebut bukan keputusan yang bersifat final.
-          Eksersitif (exercitives acts), yakni tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh.
-          Komisif (commissives acts), yakni tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu.
-          Behabitif (behabitives acts), yakni tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial yang bertalian dengan rasa simpati, saling memaafkan atau saling mendukung.
-          Ekspositif (expositives acts), yakni tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi yang berasal dari referensi tertentu.
3)      Tindak perlokusi, yakni efek tindak tutur si penutur bagi pendengarnya. Dalam penegasan lain, bila tindak lokusi dan tindak ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, pada tindak perlokusi yang ditekankan adalah bagaimana respons pendengarnya. Hal ini, menurut J.L. Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan.

Melalui tindak tutur, J.L. Austin memang hendak menegaskan bahwa suatu analisis terhadap ungkapan bahasa jangan hanya membatasi diri pada makna ujaran saja, tetapi juga harus meneliti akibat yang dapat ditimbulkan oleh ujaran itu. Dalam kaitan ini, Austin mengingatkan bahwa diperlukan suatu ‘kewaspadaan’ dalam mendengar atau membaca suatu ungkapan bahasa, sekalipun ungkapan tersebut telah bersubyek dan berpredikat. Hal ini agaknya amat ditekankan oleh Austin, mengingat di dalam tiap-tiap bahasa tersirat suatu orientasi hidup dari si pengguna bahasa.
Dalam hubungannya dengan pidato Obama, penulis hendak mengenakan teori ini sebagai alat untuk menganalisa bagaimana ungkapan atau ujaran bahasa dapat mempengaruhi dan bahkan menggerakkan para pendengarnya. Analisa dan pembahasannya hendak dikemukakan dalam bab selanjutnya. (Wibowo, 2011:43-44)



Bab II: Analisa Tindak Tutur dalam Pidato Obama

            Bersikap sopan secara linguistik kerap menjadi masalah dalam memilih bentuk-bentuk linguistik yang menunjukkan tingkat sosial dan memperkenalkan perbedaan status antara penutur dan pendengarnya. Tuturan yang berbeda menunjukkan fungsi yang berbeda pula dan mengungkapkan fungsi-fungsi tertentu dari penutur secara lain. (Holmes, 1995:285)
            Obama, melalui pidato-pidatonya, hendak menunjukkan fungsi dan statusnya sebagai presiden Amerika Serikat. Maka dari itulah, ia pun berusaha memberi pengaruh kepada para pendengarnya melalui tindak tutur yang tepat dalam pidato yang ia susun bersama timnya. Dalam wawancaranya dengan Dean Thomas, seorang wartawan Newsweek, Obama menegaskan bahwa “...saya ingin mengalokasikan banyak waktu, .... untuk berpikir mengenai isu-isu, karena saya tidak ingin hanya memaparkan angka-angka ketika menyangkut sisi kebijakan. Saya ingin berbincang-bincang dengan para pakar dan orang-orang...” (Thomas, 2009:240).
            Dari pernyataannya tersebut, jelaslah bahwa tindak tutur Obama tidak hanya berasal dari gagasannya sendiri, namun merupakan buah dari diskusinya dengan pihak-pihak yang terkait, baik yang berada di dalam maupun luar pemerintahannya. Ini adalah wujud tanggung jawab dari Obama terhadap tuturannya sendiri yang tertuang dalam pidato-pidatonya. Dari sinilah tindak tutur Obama dipandang mampu menggerakkan dan menggugah orang-orang yang mendengarkannya.
            Melalui analisa yang didasari oleh Teori Tindak Tutur oleh J.L. Austin berikut ini, penulis hendak menunjukkan bagaimana variasi tindak tutur Obama dari beberapa tuturan-tuturannya yang terdapat dalam transkripsi ketiga pidatonya berikut ini:
a.      Pidato Obama pada pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat ke 44 di Capitol Hill, Washington DC, tanggal 20 Januari 2009.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang pada pemilihan umum Presiden AS tahun 2008, pada tanggal 4 November, Obama pun dilantik dua bulan setelahnya. Di hadapan kurang lebih 10.000 orang tamu undangan, Obama mengambil sumpah jabatan kemudian ia menyampaikan pidatonya pelantikannya. Pidato ini ia bawakan dalam durasi 17 menit 34 detik. Selama durasi tersebut, Obama memperoleh 12 kali tepuk tangan dari para tamu undangan. Berikut ini adalah analisanya:
Tindak Tutur
Tuturan
Eksersitif
Today I say to you that the challenges we face are real.
“Hari ini saya menyatakan kepada anda bahwa tantangan yang kita hadapi nyata.” (paragraf 7)
Behabitif
To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect.
“Bagi dunia Muslim, kita mencari suatu jalan baru ke depan berdasarkan kepentingan bersama dan saling menghormati.” (paragraf 22)
Komisif
To the people of poor nations, we pledge to work alongside you...”
“Bagi warga negara-negara miskin, kami berjanji untuk bekerja bersama anda...” (paragraf 24)
Expositif
"Let it be told to the future world...that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive...
“Biarkan tersampaikan kepada dunia di masa depan...bahwa dalam kedalaman musim dingin, ketika tak satupun ada, kecuali harapan dan keutamaan yang bertahan...” (paragraf 32)
Kata-kata ini, Obama kutip dari Thomas Paine (1737-1809). Ia adalah salah satu pendiri negara Amerika Serikat.

b.      Pidato Obama pada kunjungannya ke Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 10 November 2009.
Sebagai rangkaian lawatan kenegaraannya ke Indonesia, salah satu agenda Obama adalah berpidato di hadapan masyarakat Indonesia, terutama para akademisi, dosen dan para mahasiswa di Universitas Indonesia. Isi pidatonya ini diawali dengan nostalgia masa kecil Obama, terutama saat tinggal di Menteng Dalam, Jakarta, yang mendapat banyak sambutan meriah dari para pendengarnya. Tercatat, dalam pidatonya yang berlangsung 31 menit 18 detik ini, Obama mendapat 26 kali applause dari para audiens. Walau begitu, sebagai fokus pidato ini, secara garis besar Obama mengutarakan garis besar situasi dan harapan dalam kerjasama antara Indonesia dan Amerika Serikat. Berikut ini adalah analisanya:
Tindak Tutur
Tuturan
Behabitif
“...I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians who are affected by the recent tsunami and the volcanic eruption...”
Saya ingin menyampaikan bahwa pikiran dan doa kami bersama dengan semua dari masyarakat Indonesia yang terkena tsunami dan letusan gunung berapi...” (paragraf 3)
Eksersitif
I will focus on three areas that are closely related, and fundamental to human progress -- development, democracy and religious faith.”
Saya akan berfokus pada tiga wilayah yang saling berhubungan dekat dan mendasar bagi kemajuan manusia – pembangunan, demokrasi dan kaum beriman” (paragraf 15)

We want to forge new ties and greater understanding between young people in this young century.”
Kami ingin membina hubungan baru dan pengertian yang lebih besar antara orang-orang muda di abad yang muda ini.” (paragraf 20)

“...I called for a new beginning between the United States and Muslims around the world...”
“...saya mengumandangkan suatu awal baru antara Amerika Serikat dan kaum Muslim di seluruh dunia...” (paragraf 32)
Verdiktif
And that’s why we condemned elections in Burma recently that were neither free nor fair.
“Dan itulah mengapa kami mengutuk pemilihan umum di Burma baru-baru ini yang tidak bebas dan tidak adil.” (paragraf 29)

c.       Pidato Obama pada Hari Veteran Amerika Serikat di Taman Makam Pahlawan Arlington, tanggal 11 November 2012.
Telah menjadi tradisi di Amerika Serikat, bahwa pada hari kesebelas dari bulan kesebelas setiap tahunnya, diadakan penghormatan bagi para veteran tentara Amerika Serikat mulai dari Perang Dunia I hingga aksi militer di Afganistan. Dalam kesempatan ini pula, Obama menyampaikan pidatonya di hadapan para veteran, yang pada intinya, Obama hendak menegaskan komitmen negara kepada para mantan pejuang ini terutama setelah mereka kembali dari medan perang. Salah satu bukti nyata adalah kisah Taylor Morris, seorang pejinak bom yang kehilangan kedua kaki dan kedua tangannya, lalu ia dirawat dan diurus sepenuhnya oleh negara. Obama menyampaikan kepada audiensnya bagaimana ia, sebagai presiden, tidak melepaskan tanggung jawabnya terhadap para veteran yang pulang dari medan perang, terutama mereka yang mengalami cacat pasca perang. Berikut analisa pidatonya ini:
Tindak Tutur
Tuturan
Komisif

For that, we must do more.  For that, we must commit –- this day and every day to serving you as well as you’ve served us.
“Untuk itu, kami harus melakukan lebih. Untuk itu, kami berkomitmen hari ini dan setiap hari untuk melayani anda seperti halnya anda telah melayani kami.” (paragraf 8)

“...we are making sure that the Post-9/11 GI Bill stays strong so you can earn a college education and pursue your dreams...”
“...kami meyakinkan (anda) bahwa Undang-undang GI Pasca 11 September tetap kuat sehingga anda bisa memperoleh pendidikan tinggi dan mengejar mimpi-mimpi anda...” (paragraf 15)




Kesimpulan dan Saran

            Melalui analisa atas pidato Obama dengan Teori Tindak Tutur dari J.L.Austin, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a.       Obama sangat fasih dalam memilih tindak tutur yang tepat dan cocok sesuai dengan tema dan kondisi kesekitarannya ketika berpidato. Ia tahu benar bagaimana memanfaatkan statusnya sebagai seorang presiden dengan mengaplikasikan secara tepat tindak tutur eksersitif, sehingga pendengarnya menyadari bahwa ia adalah seorang kepala negara dan pemerintahan. Tidak hanya dalam lingkup dalam negerinya sendiri, tetapi juga ketika berhadapan dengan masyarakat dari negara lainnya.
b.      Sebagai seorang pemimpin, Obama juga sadar ia harus ‘berjanji’ kepada para pendengarnya. Namun, janji yang ia ucapkan bukanlah janji yang sulit akan ia penuhi, sehingga para pendengarnya tergerak dan mengakui bahwa Obama akan mampu memenenuhi janji tersebut. Janji yang telah dipikirkan masak-masak dan pastinya merupakan hasil dari diskusinya dengan pihak-pihak yang berkompeten diyakini lebih mudah untuk dilaksanakan. Inilah tindak tutur komisif yang tepat, setelah mengucapkan janjinya tersebut, sebagai penuturnya, Obama dipastikan akan bisa melaksanakannya.
c.       Banyaknya tepuk tangan sebagai sambutan meriah dari para pendengarnya hendak menunjukkan tidak hanya kharisma, tetapi bagaimana isi dari pidato Obama berhasil menyentuh sanubari dan menggerakkan jiwa para pendengarnya. Ia tidak hanya berbicara dalam statusnya sebagai presiden, tetapi juga sebagai teman yang mampu mengungkapkan rasa hormat dan bahkan dukacita. Ini adalah wujud yang sangat baik dari tindak perlokusi. Dengan demikian, respon dari pendengar atau mitra tutur dapat dijadikan ukuran apakah suatu ujaran, bahkan dari seorang pemimpin sekaliber Obama, memiliki makna atau hanya sekedar retorika kosong.

Berdasarkan kesimpulan yang dapat ditarik dari analisa terhadap pidato-pidato Obama, saran yang dapat diajukan oleh penulis sebagai bentuk pembelajaran bersama, baik bagi penulis sendiri maupun para pembaca makalah ini, adalah sebagai berikut:
a.       Dalam menuturkan suatu bahasa, seorang penutur hendaknya menyadari terlebih dahulu status dan posisinya di tengah masyarakat. Hal ini tidak hanya menyangkut kesopanan tetapi terlebih demi kualitas tindak tuturnya tersebut. Para pemimpin negeri ini sangat disarankan untuk memperhatikan tutur bahasanya selaras dengan status dan jabatannya sehingga para pendengarnya dapat menerima dan mengakui apa yang ia tuturkan tersebut.
b.      Sangatlah penting untuk berdiskusi dengan orang lain sebelum menyampaikan tuturan yang mengandung janji. Untuk menghindari janji menjadi sekedar tinggal janji, maka penutur harus menyadari di mana keterbatasannya dan kapan ia harus bertukar pikiran dengan pihak-pihak yang lebih tahu atau menyerap lebih banyak referensi demi menambah pengetahuannya. Dengan demikian, setelah menuturkan janji di hadapan pendengarnya, si penutur tahu benar bahwa ia akan bisa memenuhi janji tersebut.
c.       Banyaknya pemimpin negeri ini yang lebih mengandalkan dan mengedepankan kharisma dan pencitraan kerap menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri. Kualitas tuturan sering mereka tinggalkan sehingga mereka sering tidak mendapat respon yang antusias dan sejati dari masyarakat. Tepuk tangan atau sambutan meriah lebih kerap menjadi formalitas dan bukan wujud ketergerakan dari para pendengar mereka. Untuk itulah sangat disarankan agar dalam menuturkan suatu ungkapan bahasa yang perlu diperhatikan adalah kualitas tindak tutur yang sudah direfleksikan dengan kondisi kesekitaran dan realitas yang ada; dan bukan hanya berporos pada figur atau ideologi pemikir si penutur itu sendiri.




“Die Grenze meiner Sprache, die Grenze meiner Welt”
(“Batas bahasaku adalah batas duniaku”)
-Ludwig Wittgenstein-




Referensi

a.      Sumber dari Internet
-           Transkripsi dan Video Pidato Obama pada pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat ke 44 di Capitol Hill, Washington DC, tanggal 20 Januari 2009

-          Transkripsi dan Video Pidato Obama pada kunjungannya ke Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 10 November 2009

-          Transkripsi dan Video Pidato Obama pada Hari Veteran Amerika Serikat di Taman Makam Pahlawan Arlington, tanggal 11 November 2012

-          Tentang Presiden Barack Obama

b.      Sumber Kepustakaan
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman Publishing.
Thomas, Evan. 2009. “A Long Time Coming”: Kampanye Inspiratif dan Sengit di Tahun 2008 serta Kemenangan Obama yang Bersejarah (terj.: Hendro Prasetyo). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo, Wahyu, Dr. 2011. Linguistik Fenomenologis John Langshaw Austin: Ketika Tuturan Berarti Tindakan.  Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing.



[1] Barack H. Obama adalah Presiden ke 44 Amerika Serikat. Ia terpilih sebagai presiden dari Partai Demokrat, setelah dalam pemilihan umum yang ketat di tahun 2008, ia mengalahkan John McCain dari Partai Republik. Pada tanggal 20 Januari 2009 ia disumpah sebagai presiden Afro-Amerika pertama. Ayahnya berasal dari Kenya, sedangkan ibunya dari Kansas. Ia belajar hukum di Universitas Harvard kemudian melanjutkannya di Universitas Chicago dan kemudian mengajar di sana. Dari pernikahannya dengan Michelle, Obama memiliki dua orang putri, Malia dan Sasha (http://www.whitehouse.gov/administration/president-obama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar