Jumat, 02 Oktober 2015

Metafora dalam Novel "The Five People You Meet in Heaven"

PENDAHULUAN
Dalam dunia kebahasaan, ada beberapa gaya bahasa baik yang bisa dituturkan secara lisan maupun yang ditampilkan dalam tulisan. Salah satunya adalah metafora. Metafora dapat dipandang sebagai bentuk kreativitas penggunaan bahasa. Jadi, yang kreatif  di sini adalah penggunanya. Pada dasarnya, metafora diciptakan berdasarkan persamaan (similarity) antara dua satuan atau antara dua term. Persamaan itu sifatnya tidak menyeluruh, melainkan hanya dalam sebagian aspeknya saja. Persamaan itu dapat berkaitan dengan wujud fisiknya atau dalam hal sebagian sifatnya atau karakternya atau bahkan berdasarkan persepsi seseorang.  (Subroto, 2011:115-116).
            Kreativitas penggunaan bahasa yang dihadirkan dalam rupa metafora, selain hadir dalam percakapan sehari-hari, kerap kali juga dimunculkan dalam karya tulis atau karya sastra, salah satunya dalam novel. Metafora yang dihadirkan dalam novel dapat dimaksudkan sebagai alat atau sarana untuk memberi variasi berbahasa dalam karya tersebut. Penulis biasanya akan menempatkan metafora tersebut dalam dialog atau kisah yang ia tulis. Salah satu dari sekian novel yang memuat beberapa metafora adalah novel fiksi berbahasa Inggris berjudul “The Five People You Meet in Heaven” karya Mitch Albom. Maka dari itu yang menjadi permasalahan utama yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa sajakah metafora yang ada dalam novel “The Five People You Meet in Heaven”?
2.      Apakah makna dari setiap metafora yang ditemukan dalam novel “The Five People You Meet in Heaven”?

Permasalahan tersebut di atas akan dijawab dengan penelitian deskriptif kualitatif yakni dengan mencari metafora-metafora dalam novel tersebut. Dengan penelitian deskriptif kualitatif dimaksudkan bahwa setiap metafora yang ditemukan dalam novel tersebut akan dimaknai berdasarkan teori-teori mengenai metafora. Untuk mengawali proses dan rangkaian penelitian dan pembahasan dalam makalah ini akan terlebih dahulu diawali dengan resensi dari novel “The Five People You Meet in Heaven.”


1. NOVEL “THE FIVE PEOPLE YOU MEET IN HEAVEN
            Novel ini mengambil latar belakang tempat di salah satu taman hiburan di Amerika, bernama Ruby Pier. Letaknya dekat sebuah dermaga di tepi pantai. Sedangkan sebagai tokoh utama dalam novel itu adalah Eddie yang adalah kepala bagian maintenance (perawatan) di taman hiburan tersebut. Sebagian besar hidupnya ia habiskan untuk menjaga, memperbaiki dan merawat semua wahana yang ada di Ruby Pier. Pekerjaannya ini ia teruskan dari mendiang ayahnya. Sebelumnya ia pernah mengikuti dinas militer di Filipina pada masa Perang Dunia kedua, bahkan hingga ia dijadikan tawanan perang oleh tentara Jepang. Setelah berhasil menyelamatkan diri bersama rekan-rekannya dalam keadaan luka parah, terutama di bagian lututnya, ia kembali ke Amerika. Ia pulang dalam keadaan pincang dan setelah itu sepanjang hidupnya ia harus berjalan dengan menggunakan tongkat. Ia pun menikah dengan istrinya yang ia kenal sejak masa remajanya, Marguerite. Ia sempat bekerja sebagai supir taksi, sebelum kemudian ia mengambil alih pekerjaan ayahnya tersebut ketika ayahnya tersebut mulai sakit-sakitan hingga akhir hidupnya.
Pada hari ulang tahunnya yang ke 83, Eddie meninggal dunia karena kecelakaan tragis demi menyelamatkan nyawa seorang gadis kecil dari wahana rusak yang nyaris menimpanya. Di alam baka, Eddie berjumpa dengan lima orang yang telah menunggunya, yang dimaksudkan hadir di hadapan Eddie untuk menjelaskan semua yang telah terjadi dalam kehidupannya. Orang pertama yang ia jumpai adalah ‘The Blue Man’, seorang pria yang mengalami warna biru di sekujur tubuhnya karena pengobatan yang salah untuk menyembuhkan masalah kecemasannya. Orang kedua adalah kapten yang memimpin Eddie semasa dinasnya di Filipina dan yang ikut ditawan bersama empat rekannya yang lain. Yang ketiga adalah Ruby, istri dari pendiri wahana hiburan tempat Eddie bekerja. Sedangkan orang yang keempat adalah istri Ruby sendiri dan yang kelima adalah Tala, gadis Filipina berumur lima tahun yang tanpa sengaja dibakar oleh Eddie ketika ia berhasil lolos dari tawanan tentara Jepang.
Masing-masing dari mereka memberikan jawaban atas segala pertanyaan yang ada dalam benak Eddie selama hidupnya. Pertanyaan kenapa ia pincang, kenapa ia harus bertahan bekerja di taman hiburan tersebut, kenapa hubungannya dengan ayahnya begitu buruk dan terutama pertanyaan apakah gadis yang nyaris tertimpa wahana yang rusak tersebut mampu ia selamatkan atau tidak. Jawaban yang disampaikan oleh masing-masing dari kelima orang tersebut disampaikan dengan cara menghubungkan kisah mereka dengan perjalanan hidup Eddie. Boleh dikata kelima orang tersebut pernah hadir dalam kehidupan Eddie, meski tiga di antaranya, yakni ‘The Blue Man’, Ruby dan Tala tak pernah ia kenal secara langsung, dan kelimanya pada akhirnya memberikan kedamaian yang Eddy cari yakni jawaban atas seluruh pertanyaan yang ada dalam hidupnya.
Sebagai inspirasi dari keseluruhan novel ini adalah kisah hidup dari paman Mitch Albom sendiri yang bernama Edward Beitchman. Dalam bagian pengantar novel ini, Albom memberi kesaksian bagaimana pamannyalah yang paling pertama memperkenalkannya pada konsep surga dan kemudian selalu ia ceritakan di meja makan tiap makan malam pada pesta Thanksgiving. Konsep mengenai surga inilah yang kemudian ia wujudkan dalam novel “The Five People You Meet in Heaven” ini.


2. KAJIAN TEORI MENGENAI METAFORA
            Untuk mendukung bahasan dan penelitian mengenai metafora yang ditemukan dalam novel “The Five People You Meet in Heaven” akan terlebih dahulu dipaparkan teori-teori dan definisi mengenai metafora.
a. Definisi Metafora
            Secara etimologi, metafora berasal dari bahasa Yunani, metaphero (μεταφέρω) yang berarti “membawa lebih”, “memindahkan” dan berasal dari dua gabungan kata Yunani: meta (μετά) yang berarti “di antara” dan phero (φέρω) yang berarti “membawa”. Dari etimologinya tersebut, metafora dapat diartikan “pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan.” Sebagai suatu pengabstrakan, metafora dapat berupa “pemakaian kata atau bentuk lain yang bersangkutan dengan obyek konkret untuk obyek atau konsep abstrak” (Kridalaksana, 2009:152-153).
            Beberapa pakar bahasa juga mengemukakan pengertian metafora mereka sendiri. Stephen Ullman menyatakan bahwa metafora adalah suatu perbandingan antara dua hal yang bersifat menyatu (luluh) atau perbandingan yang bersifat langsung karena kemiripan atau kesamaan yang bersifat konkret atau nyata atau bersifat intuitif atau perseptual. Karena perbandingan itu bersifat menyatu atau luluh, maka tidak dinyatakan dengan kata-kata yang mengungkapkan perbandingan, contohnya: seperti, bak, laksana, bagaikan. Maka dari itulah, metafora sangat bertali-temali dengan jaringan tutur manusia: sebagai faktor utama motivasi, sebagai perabot ekspresi, sebagai sumber sinonim dan polisemi, sebagai saluran emosi yang kuat, sebagai alat untuk mengisi senjang kosakata, dan dalam beberapa peran yang lain. (Ullmann, 2011:265)
Geoffrey Leech menyatakan bahwa metafora dipandang sebagai sebuah “transfer makna atau perpindahan makna”. Begitu pula pakar bahasa yang lain, seperti George Lakoff dan Mark Johnson menyatakan bahwa “esensi metafora adalah pemahaman dan pengalaman akan sesuatu yang dipadankan dengan sesuatu yang lain.” (Subroto, 2011:120-121). Metafora menunjukkan kepada pendengar atau pembaca untuk melihat benda, pernyataan atau apapun juga sebagai sesuatu yang lain dengan menerapkan ungkapan linguistik terdahulu yang digunakan dalam rujukannya yang terakhir (Cruse, 1987:41)

b. Jenis-jenis Metafora
            Beberapa pakar bahasa menganggap metafora sebagai “ratunya” majas, karena bisa dilhat dari proses pembentukannya. Banyak jenis majas lainnya yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis majas ini. Salah satu dari pakar bahasa yang membagi jenis-jenis metafora adalah Kerbrat Orrecchioni (Kusuma, dkk. 2011:173-174), yang melihat bentuknya, mengajukan dua macam metafora, yaitu:
1)      Metafora in praesentia
Metafora ini bersifat eksplisit. Sebagai contoh, “Tono memang buaya darat” (biasa disebut asimilasi). Di sini kedua unsur yang dibandingkan muncul, jadi tidak bersifat implisit. Apabila kita bandingan aspek makna majas simile dengan metafora asimilasi, akan tampak perbedaan. Kita lihat contoh berikut ini:
a)      “Tono seperti buaya darat” (simile),
b)      “Tono memang buaya darat” (asimilasi)
Kalimat pertama menyatakan bahwa sebagian sifat Tono mirip sifat buaya darat. Sementara itu, bila tak ada kata pembanding (digunakan metafora asimilasi), maka si pengujar menyatakan bahwa secara keseluruhan, Tono memang buaya darat.
2)      Metafora in absentia
Metafora ini dibentuk berdasarkan penyimpangan makna. Seperti juga pada simile, dalam metafora terdapat dua kata (atau bentuk lain) yang maknanya dibandingkan. Namun, salah satu unsur bahasa yang dibandingkan, tidak muncul, bersifat implisit. Sifat implisit ini menyebabkan adanya perubahan acuan dan penyimpangan makna, sehingga menimbulkan masalah kolokasi, yaitu kesesuaian makna dari dua atau beberapa satuan linguistik yang hadir secara berurutan dalam ujaran yang sama. Hal ini yang mungkin menjadi masalah dalam pemahaman metafora. Contoh: “Banyak pemuda yang ingin mempersunting mawar desa itu”. Dalam contoh tersebut, ada dua wilayah makna, yaitu wilayah makna kata “gadis” yang tidak hadir (in absentia) dan wilayah makna kata “mawar”. Sebagian wilayah makna “mawar” dan “gadis” sama, yaitu indah, cantik, segar, harum. Meskipun wilayah makna kedua kata itu akhirnya menyatu, makna pertama (“gadis”) tidak menghilang, melainkan ada di latar belakang makna kata kedua (“mawar”).


3. TEMUAN DAN ANALISA MAKNA METAFORA DALAM NOVEL “THE FIVE PEOPLE YOU MEET IN HEAVEN
Berikut ini adalah metafora-metafora yang dapat ditemukan dalam novel “The Five People You Meet in Heaven” yang diamati dari kalimat-kalimat yang memuat metafora-metafora tersebut. Makna dari setiap metafora tersebut akan dibahas dan dianalisa berdasarkan konteks yang melingkupinya dan dengan berpanduan pada teori-teori yang telah disebutkan di atas, terutama teori yang dipaparkan oleh Orrecchioni.
a.       Barrel chest
“At the time of his death, Eddie was a squat, white-haired old man, with a short neck, a barrel chest, ... “ (hlm. 2)
Secara harafiah, ‘barrel chest’ berarti ‘dada tong’. Ungkapan ini merupakan bentuk metafora in praesentia, yang mana bentuk dada yang dimaksudkan oleh Albom dianalogikan dengan bentuk tong. Ini dituliskan oleh sang penulis ketika hendak memperkenalkan sosok Eddie. ‘Barrel chest’ merupakan metafora untuk menunjukkan dada seseorang, terutama pria, yang lebar karena kapasitas paru-paru yang besar, namun bisa juga karena penyakit osteoarthritis ketika seseorang makin berusia lanjut. Di awal novel, Albom menceritakan sosok Eddie yang telah berusia 83 tahun, yakni usia yang sangat rentan dengan segala bentuk penyakit masa tua.

b.      Salty whiskers
His face was broad and craggy from the sun, with salty whiskers...”
(hlm. 2)
Masih dalam konteks memperkenalkan sosok Eddie, Albom menyebutkan ‘salty whiskers’ yang jika diterjemahkan secara harafiah berarti ‘jambang yang asin’. Metafora ini hendak menunjukkan seseorang yang sudah lama hidup dan bekerja di tepi laut. Seperti yang dikisahkan oleh Albom, tokoh Eddie hampir sepanjang hidupnya bekerja di Ruby Pier, yang letaknya berada di tepi laut. Ini merupakan bentuk metafora in absentia, karena ungkapan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menunjukkan wujud ‘jambang yang asin’.

c.       To be red from the sun
“His legs were red from the sun..” (hlm. 8)
Pada bagian kisah novel ini, ketika diketahui wahana mulai rusak, disebutkan oleh Albom, bahwa kedua kaki Eddie “were red from the sun”. Metafora ini hendak menyatakan bahwa karena sering berada di bawah sinar matahari, maka kedua kaki Eddie pun seolah berwarna merah atau lebih tepatnya makin menggelap. Karena sering bekerja dari wahana ke wahana di taman hiburan tersebut, terutama di wahan-wahana yang berada di ruang terbuka dari pagi sampai malam, tidak heran bahwa tubuh Eddie, tak terkecuali kedua kakinya sering terpapar oleh sinar matahari. Ini merupakan bentuk metafora in praesentia, yakni dengan ditunjukkannya warna kulit yang terpapar lama oleh sinar matahari, sehingga seolah berwarna merah.

d.      A wound beneath an old bandage
“She was like a wound beneath an old bandage...” (hlm. 10)
Sesudah berjumpa dengan Marguirite untuk pertama kalinya pada masa remajanya, Eddie pun langsung jatuh cinta dengan gadis itu. Kenangan pertemuan itu terus terbawa oleh Eddie hingga ia hendak tidur, bahkan menjadi bahan gurauan dari Joe, kakanya. Albom menyebutkan kehadiran Marguirite dalam kehidupan awal Eddie seperti ‘a wound beneath an old bandage’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya ‘seperti luka di bawah perban yang lama’. Ini merupakan bentuk metafora in absentia yang hendak menunjukkan bahwa di dalam diri Eddie, sosok Marguirite merupakan figur yang teramat penting dan sulit untuk dilupakan begitu saja.

e.       To fish around
“He fished around.”(hlm. 11)
Pada bagian lain novel ini diceritakan seorang pemuda yang baru saja bermain di taman hiburan tersebut, kehilangan kuncinya mobilnya. Di sini Albom menyebutkan “he fished around” yakni sebuah metafora untuk menunjukkan tindakan seseorang ketika ia kehilangan sesuatu lalu mulai mencari-carinya di seluruh tubuhnya. Itulah persis yang dilakukan oleh pemuda tersebut ketika ia baru menyadari bahwa kunci mobilnya sudah tidak ada lagi. Ini merupakan bentuk metafora in absentia, karena Albom sama sekali tidak memaksudkan ‘to fish around’ sebagai tindakan yang bersangkut pautan dengan ikan (fish), memancing misalnya.

f.       Running nose
“She was sprawled upon the ride’s metal base, as if someone had knocked her into it, her nose running,...” (hlm. 17)
Ketika Eddie berusaha menyelamatkan seorang gadis yang nyaris tewas karena wahana yang rusak dalam novel ini, Albom menceritakan bagaimana gadis itu sempat jatuh di platform dari wahana tersebut. Ia mendeskripsikan gadis itu dengan metafora ‘running nose’ yang arti harafiahnya adalah ‘hidung yang berlari’. Yang dimaksudkan dengan metafora ini adalah keadaan panik yang dialami oleh seorang anak, sehingga ia menangis dan hidungnya pun beringus atau mengeluarkan lendir. Ini merupakan bentuk metafora in praesentia, yakni dengan menunjukkan hidung yang beringus seolah seperti sedang ‘berlari’.

g.      Dog tags
“He looked up to see a rifle dug into the ground, with a helmet sitting atop it and a set of dog tags hanging from the grip.” (hlm. 57)
Sesudah bertemu dengan ‘The Blue Man’, Albom mengisahkan Eddie yang kemudian berpindah setting ke masa-masa ketika ia menjadi seorang prajurit Amerika pada masa Perang Dunia kedua dalam tugas kemiliterannya di Filipina. Pada bagian itu, Eddie menemukan ‘dog tags’ miliknya. Yang dimaksudkan dengan ‘dog tags’ adalah nama tak resmi atau metafora in absentia untuk seperangkat tanda pengenal yang dikenakan oleh para tentara yang terluka atau tewas di medan pertempuran. Biasanya pada ‘dog tags’ tersebut dituliskan nama, golongan darah dan agama yang dianutnya.

h.      To be hell on someone
He was hell on me as a kid.” (hlm. 141)
Saat bertemu dengan orang ketiga, yakni Ruby, istri dari pendiri taman hiburan tempat Eddie bekerja, Eddie banyak bercerita mengenai buruknya relasi antara dirinya dengan ayahnya. Di situ ia menyebutkan perihal ayahnya yang memperlakukan dirinya sedemikian buruk sejak masa kecilnya. Metafora in absentia ini merupakan ungkapan yang menunjukkan sikap seseorang yang menolak, mengingkari dan tak menganggap penting orang lainnya. Dalam konteks novel ini, Eddie merasakan pengalaman bagaimana pada masa kecil dan remajanya ia dianggap tak penting dan diperlakukan secara kasar dan keras oleh ayahnya, sehingga Eddie sulit untuk memaafkannya.


4. KESIMPULAN
            Metafora merupakan salah satu bahasa figuratif yang secara luas dapat digunakan dalam setiap bentuk komunikasi sehari-hari, seperti dalam artikel di koran, iklan, puisi dan novel. Secara lebih khusus dalam rupa novel, seorang penulis dapat menerapkan kreativitas berbahasanya dalam salah model bahasa figuratif ini. Kreativitas ini memang memberi warna pada novel yang ditulis, sehingga novel pun dapat menarik seluruh perhatian pembacanya.
            Ini pulalah yang berlaku pada novel “The Five People You Meet In Heaven” di mana sang penulis, Mitch Albom, menerapkan kreativitasnya dalam menulis dengan meletakkan beberapa metafora dalam karyanya tersebut. Metafora-metafora yang dapat ditemukan dalam novel tersebut antara lain: barrel chest, shalty whiskers, to be red from the sun,  a wound beneath an old bandage, to fish around, running nose, dog tags, dan to be hell on. Masing-masing metafora tersebut kemudian membawa maknanya sendiri-sendiri, baik secara in praesentia maupun in absentia. Dengan demikian, semua metafora tersebut menjadi bagian integral yang ikut mewarnai keseluruhan kisah dalam novel ini.


DAFTAR PUSTAKA
Albom, Mitch. 2003. The Five People You Meet in Heaven. New York: Hyperion.
Cruse, D.A. 1987. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT. Gramedia.
Kusuma, Okke, dkk. 2011. Telaah Wacana: Teori dan Penerapannya. Depok: The Intercultural Institute.
Subroto, Edi H., Prof., Dr. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: PT. Cakrawala Media.
Ullmann, Stephen. 1977. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.


Pustaka Laman
en.wikipedia.org/wiki/Barrel_chest
en.wikipedia.org/wiki/Dog_tag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar