Jumat, 02 Oktober 2015

Filsafat Makna Wittgenstein

I. Pendahuluan
            Sejak awal peradaban, manusia selalu berusaha untuk memberi makna atau arti dari setiap aspek kehidupannya, apa yang ia alami dan ia rasakan melalui panca inderanya. Usaha untuk memaknai ini diwujudkan dalam bahasa yang merupakan sekaligus alat untuk berfilsafat. Maka dari itulah pihak yang paling awal memanfaatkan makna dalam menelaah ide-ide ataupun mengungkapkan pengalaman dalam bahasa adalah adalah para filsuf, meski kemudian makna sebagai obyek studi lebih banyak dibahas dalam semantik.
            Sesungguhnya perkembangan sejarah filsafat itu sendiri diwarnai oleh pertentangan ide dari para filsuf. Dalam hal ini sejarah mengajarkan kepada kita –secara tidak langsung- latar belakang timbulnya persoalan-persoalan filsafat dengan berbagai kekhasannya yang ditandai oleh masing-masing periode. Periode yang satu merupakan reaksi terhadap periode sebelumnya ataupun mengkoreksi dan menambahkan beberapa hal yang dianggap penting (Mustansyir, 1988:56)
            Perkembangan yang kurang lebih sama juga berlaku dalam usaha menelaah makna dalam bahasa. Filsuf yang terlebih dahulu melakukannya akan disanggah oleh filsuf selanjutnya. Lebih istimewa lagi, terdapat seorang filsuf yang telah  menelaah makna dalam bahasa pada satu periode dan kemudian akan mengkritisi atau menyanggah pemikirannya sendiri pada periode selanjutnya. Filsuf yang dimaksud adalah Ludwig Wittgenstein.
            Makalah ini akan membahas perkembangan pemikiran Wittgenstein dalam menelaah makna. Sebagai masalah utamanya adalah apa sajakah gagasan-gagasan Wittgenstein mengenai makna dan bagaimana proses perkembangannya. Masalah tersebut akan didekati dengan merujuk pada referensi-referensi yang menunjukkan proses pemikiran Wittgenstein mengenai bahasa dan terlebih yang berkaitan dengan makna.

II. Tentang Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein adalah seorang filsuf keturunan Yahudi dari Austria. Ia lahir di Wina, pada tanggal 26 April 1889 sebagai yang bungsu dari delapan anak. Pada tahun 1906, Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Dua tahun kemudian, ia melanjutkan studi tekniknya di Manchester.  Di sana ia mengadakan riset dalam bidang teknik pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk teknik baling-baling perlu banyak pengetahuan mengenai matematika, perhatiannya semakin tertarik oleh matematika dan filsafat matematika. Pada tahun 1911, G. Frege, seorang matematikawan menasihatinya untuk berguru filsafat pada Bertrand Russel di Universitas Cambridge. Di sanalah, Wittgenstein mulai merintis karirnya sebagai filsuf. Ia kemudian dikenal sebagai salah seorang profesor filsafat kenamaan di universitas tersebut, meski pada tahun 1947 ia meninggalkan keprofesorannya tersebut. Dua karya Wittgenstein yang paling dikenal adalah Tractatus logico-philosophicus dan Philosophische Untersuchungen/Philosophical Investigations. Pada tanggal 29 April 1951, ia meninggal dunia di Cambridge akibat kanker, setelah menderita sakit selama 2 tahun. (Bertens, 2001:41-43).


III. Periode Pertama Wittgenstein: Tractatus Logico Philosophicus
            Menjadi murid sekaligus sahabat dari Bertrand Russell membuat Wittgenstein mengikuti aliran filsafat yang dihidupi Russell yakni filsafat analitik. Dalam filsafat analitiknya, Bertrand Russell sangat terkenal dengan teori atomisme logis yang nantinya juga berpengaruh pada karya pertama Wittgenstein, yakni Tractatus Logico Philosophicus.
a. Atomisme Logis Russell
            Sebelum lanjut membahas secara lebih mendalam mengenai Tractatus, terlebih dahulu akan dibahas mengenai atomisme logis Russell. Terdapat tiga poin utama yang menjadi tujuan filsafati dari atomisme logis Russell (Hidayat, 2009:48), yakni:
1)      filsafat mempunyai tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana. Tujuan ini untuk merumuskan pandangan yang pada akhirnya akan membentuk suatu sintesis.
2)      filsafat harus mampu menghubungkan logika dan matematika. Bagi Russell seluruh matematika dapat dikembalikan kepada beberapa prinsip logis. Ia menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksakta) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Menurutnya, logika dan tata bahasa tidak hanya penting bagi bahasa itu sendiri, namun juga merupakan dasar bagi matematika.
3)      filsafat harus merujuk pada analisis bahasa. Ini merupakan tujuan puncak dari filsafat Russell, yakni mencari pengetahuan yang benar. Baginya, dengan melakukan suatu analisis yang benar, akan diperoleh pengetahuan yang benar pula mengenai realitas.
Dengan demikian, seluruh filsafat Russell berporos pada bahasa logika. Menurutnya, bahasa logika akan sangat membantu aktivitas analisis bahasa. Ia berkeyakinan bahwa teknik analisis bahasa yang didasari oleh bahasa logika lebih mampu menggambarkan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.
            Filsafat analitis dan teori atomisme logis Russell inilah yang akan banyak berpengaruh pada karya besar pertama Ludwig Wittgenstein. Meksi ada sedikit perbedaan, namun boleh dikata, Wittgenstein cukup mengikuti pola pemikiran Russell terutama dalam teori atomismenya.

b. Tractatus Logico Philosophicus: Makna adalah Gambar
            Pada awalnya, Tractatus merupakan tulisan Wittgenstein yang berbahasa Jerman, “Logis Philosophische Abhandlungen” yang dimuat di majalah Annlen der Naturphilosophie (1921). Naskah ini ditulis oleh Wittgenstein sejak 1918, yakni di sela-sela tugasnya bertempur di front timur dan selatan ketika Perang Dunia I meletus, dan bahkan selama menjadi tawanan tentara Italia. Pada tahun 1922, naskahnya tersebut diterbitkan sebagai buku dalam dua bahasa (Jerman dan Inggris), yakni Logis-Philosophische Abhandlungen dan Tractatus Logico-Philosophicus (Wibowo, 2011:21)
            Di dalam karya pertamanya ini, yang dibuka dengan kata pengantar oleh Bertrand Russell sendiri, Wittgenstein sudah langsung mengkritisi bahasa sehari-hari, sebagai lawan dari bahasa logika, yang telah menyebabkan kerancuan berfilsafat oleh para filsuf pendahulunya:
Dalam bahasa sehari-hari, kerapkali terjadi bahwa kata yang sama memiliki makna dalam dua cara yang berbeda, sehingga berlaku pada dua simbol yang berbeda...Maka dari itu mudahlah muncul suatu kebingungan yang fundamental dalam segenap keseluruhan filsafat.
(Wittgenstein,1922:35-36)

            Bagi Wittgenstein, kerancuan yang terjadi dalam bahasa filsafat disebabkan oleh sikap para filsuf yang sedemikian semena-mena terhadap penggunaan bahasa. Ini didasari oleh ketidakperdulian mereka terhadap aturan-aturan pikir seperti yang telah ditunjukkan dalam logika (Mustansyir, 1988:62).
Kebanyakan proposisi dan pertanyaan yang telah ditulis mengenai permasalahan filosofis tidaklah salah, hanya tidak masuk akal. Maka dari itu, kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan hanya akan menyatakan ke-tidak masuk akal-an mereka. Kebanyakan pertanyaan dan proposisi dari para filsuf dihasilkan dari kenyataan bahwa kita tidak mengerti logika bahasa kita.
(Wittgenstein, 1922:39)

            Sebagai solusi atas permasalahan kerancuan berbahasa para filsuf terdahulu, Wittgenstein menawarkan suatu teori sebagai bagian pertama filsafat maknanya, yakni “meaning is picture” atau “makna adalah gambar”. Inti dari teori ini adalah pandangan bahwa terdapat relasi yang erat dan mutlak antara bahasa (dunia simbol) dengan dunia fakta di luar bahasa. Dunia itu sendiri ditafsirkan sebagai jumlah keseluruhan fakta dan bukan jumlah keseluruhan benda. Dunia keseluruhan ditentukan oleh fakta-fakta ini dan bukan ditentukan oleh hal-hal lain. Fakta ialah suatu sachverhalt (Jer.), yaitu hubungan-hubungan yang dimiliki oleh obyek. Merupakan sesuatu yang hakiki bagi suatu obyek untuk menjadi bagian penyusunan suatu sachverhalt. Suatu sachverhalt dapat dipikirkan, jika kita dapat membuat gambaran mengenainya. Jumlah keseluruhan pikiran yang benar memberikan gambaran mengenai dunia. Pikiran adalah kalimat (proposisi) yang bermakna. Di dalam kalimat (proposisi) terungkap pikiran dengan cara yang dapat ditangkap oleh panca indera kita (Hidayat, 2009:56).

Hanya proposisi yang memiliki makna; sebuah nama hanya akan bermakna jika ia berada dalam konteks sebuah proposisi.
(Wittgenstein, 1922:34)

            Singkat kata, pada periode pertama ini, melalui Tractatus Logico-Philosophicus, Wittgenstein berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki makna: meaning is picture. Maksudnya adalah bahasa akan bermakna jika dimanfaatkan untuk menggambarkan suatu keadaan faktual. Maka dari itulah, makna dalam bahasa hanya akan hadir jika bahasa dipakai dengan tujuan untuk menetapkan keadaan-keadaan faktual, state of affairs dan semua bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna (Hidayat, 2009:73)


IV. Periode Kedua Wittgenstein: Philosophical Investigations
            Oleh Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus diajukan sebagai disertasi doktoralnya di Universitas Cambridge pada tahun 1929. Setelah dinyatakan lulus, ia sempat mengajar filsafat di sana. Pada rentang waktu antara 1936-1944, ia menyepi di Norwegia dan menulis karya keduanya, yakni Philosophical Investigations yang ia persiapkan juga dalam bahasa Jermannya dengan judul Philosophisce Untersuchungen (Wibowo, 2011:22-23)
a. Philosophical Investigations: Makna adalah Kegunaan
            Melalui karya besar keduanya inilah, terjadi perkembangan yang signifikan dan perubahan yang teramat mendasar pada filsafat makna Wittgenstein. Dalam periode sebelum tahun 1930 atau pada periode pertamanya, pemikiran Wittgenstein bertumpu pada atomisme logis Russell. Lalu pada periode keduanya ini melalui karyanya Philosophical Investigations, Wittgenstein menentang dan mengkritisi pemikirannya sendiri yang tertuang dalam Tractatus. Ia berpendapat bahwa makna suatu pernyataan sangat bergantung pada penggunaan jenis bahasa tertentu: meaning is use. Ini dikarenakan pada kenyataan bahwa bahasa memiliki banyak fungsi. Sementara itu, kata-kata, bagaikan alat-alat, dapat dipakai dengan banyak cara. Maka dari itulah, Wittgenstein berpendapat bahwa perhatian harus dialihkan dari bahasa logika kepada pemakaian bahasa biasa. Dengan pendapatnya ini, Wittgenstein secara tidak langsung telah membuka jalan ke arah filsafat baru yang sangat berlainan dengan aliran atomisme logis maupun filsafat analitik (Hidayat, 2009:74).
            Di dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menegaskan bahwa teori gambar, yang ia cetuskan dalam Tractatus, tidak mampu memperlihatkan struktur tersembunyi dari segala macam bahasa, kecuali hanya melukiskan jenis bahasa tertentu. Maka dari itulah, ia menyatakan bahwa tak mungkin bahasa hanya digunakan untuk satu tujuan, yakni untuk menetapkan keadaan-keadaan faktual. Berkaitan dengan hal ini, Wittgenstein menegaskan bahwa kata-kata atau bahasa dapat digunakan dengan banyak cara. Ini berarti tidak ada gunanya dan tidak mungkin untuk merumuskan berfungsinya alat-alat hanya dengan satu cara. Dengan kata lain, bahasa tidak digunakan hanya untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis, tetapi juga digunakan dalam banyak cara yang berbeda dalam rangka mengungkapkan pembenaran, pertanyaan-pertanyaan, perintah, pengumuman dan gejala lainnya yang dapat diungkapkan dengan kata-kata. Untuk menjelaskan bahwa bahasa dapat digunakan untuk banyak cara, Wittgenstein memperkenalkan istilah language games atau permainan bahasa.
Dalam latihan penggunaan bahasa, satu pihak menyebut kata-katanya, sedangkan yang lain bertindak atasnya. Dalam perintah suatu bahasa proses yang mengikuti akan terjadi: seorang pelajar akan menamai suatu objek; yakni, ia mengucapkan kata ketika gurunya menunjuk pada sebuah batu...Kita dapat memikirkan seluruh proses penggunaan kata dalam contoh di atas sebgai satu dari permainan-permainan yang digunakan anak-anak untuk mempelajari bahasa ibu mereka. Saya menyebut permainan ini sebagai “permainan bahasa”... Saya juga harus menyebut seluruh bahasa yang ada dan tindakan yang terjalin di dalamnya sebagai “permainan bahasa”.
(Wittgenstein, 1953:5)

            Inti gagasan dari “permainan bahasa” adalah bahwa suatu jenis bahasa tertentu terdiri dari kata-kata dan memiliki aturan pemakaiannya sendiri (tata bahasa) seperti dalam suatu permainan. Permainan itu banyak ragamnya, seperti permainan dengan tongkat, kartu, bola, pistol dan yang lainnya. Sebagaimana banyaknya permainan, demikian pula terdapat banyak permainan bahasa seperti memberi perintah, membuat lelucon, memberikan beberapa contoh, melaporkan suatu berita, bertanya, berseru, bermain sandiwara, berdoa, melukiskan suatu peristiwa dan menyatakan cinta. Setiap permainan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan, begitu juga dengan permainan bahasa. Kata-kata yang dipakai mendapat maknanya dalam aktivitas itu. Satu kata tertentu mempunya arti yang terus menerus dapat berubah. Karena itulah makna suatu kalimat selalu bergantung pada cara pemakaian atau penggunaan kalimat itu sendiri.
Untuk sebuah kelas yang besar atas kasus-kasus –meski tidak untuk semuanya- dalam mana kita memanfaatkan kata “makna” dapat diungkapkan seperti ini: makna dari sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa. Dan makna sebuah nama terkadang dijelaskan dengan menunjuk pada pengusungnya.
(Wittgenstein, 1953:21)

            Pernyataan Wittgenstein ini hendak menunjukkan bahwa kita dapat terjebak dalam kerancuan bahasa, manakala kita menjelaskan makna suatu kata dengan memisahkannya dari situasi yang melingkupinya. Maka dari itu, sebelum kita menjelaskan makna suatu kata atau istilah, terlebih dahulu kita memeriksa dalam situasi yang bagaimana kata itu dipergunakan (Mustanyir, 1988:94).

b. Wittgenstein: Pencetus The Philosophy of Ordinary Language
            Pembahasan “language games” atau permainan bahasa oleh Wittgenstein dalam Philosophical Investigations menunjukkan bahwa filsafat analitik mengalami perkembangan dan perubahan orientasi. Perubahan ini menunjukkan bahwa orientasi filsafat Wittgenstein berubah dari usaha untuk membahas dan meneliti bahasa bermakna dan tidak bermakna secara logis menjadi pemakaian bahasa dan maknanya.
            Melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein mengemukakan pendapat baru mengenai bahasa. Banyak orang mengakui betapa sulitnya membaca karya keduanya tersebut, apalagi jika semata-mata hanya mendasarkan pada deskripsi bahasa secara gramatikal. Akan tetapi, melalui karya keduanya itulah, Wittgenstein dinobatkan sebagai perintis aliran Filsafat Bahasa Biasa (Philosophy of Ordinary Language), mengingat perhatiannya pada bahasa biasa sehari-hari dan melihat penolakannya pada hubungan antara bahasa dan logika yang pada periode pertama pemikirannya ia usung dalam Tractatus (Wibowo, 2011:23).
            Kalangan akademisi Oxford pasca Perang Dunia II kemudian dikenal sebagai pengikut setia aliran Filsafat Bahasa Biasa, karena orientasi kajian filsafatnya adalah pada bahasa sehari-hari. Kelompok ini menggunakan metode Wittgenstein untuk menyelidiki macam-macam bahasa. Salah satu tokoh penting yang kemudian melanjutkan pemikiran Wittgenstein adalah John Langshaw Austin yang sangat dikenal dengan Linguistik Fenomenologinya dan teori-teorinya mengenai tindak tutur (speech acts).


V. Refleksi atas Pemikiran Wittgenstein Mengenai Makna
            Seorang filsuf Yunani yang hidup sekitar abad ke 6 sebelum Masehi, yakni Herakleitos pernah menyatakan bahwa orang tidak mungkin turun dua kali dalam arus yang sama, sebab air sungai itu terus berlalu, bergiliran dan berganti-ganti. Demikian halnya dengan segala sesuatu yang tidak akan tetap dan selalu berubah (Hadiwijono, 1980:21-22). Yang berubah tidak hanya alam, namun juga pikiran manusia. Hal ini pula yang terjadi pada diri Ludwig Wittgenstein dalam pembahasannya mengenai makna dalam bahasa. Ia yang semula beraliran filsafat analitis dengan banyak merujuk pada atomisme logis Bertrand Russel, secara mengejutkan meninggalkan aliran filsafat tersebut dan merintis suatu aliran pemikiran yang sama sekali baru, yakni Filsafat Bahasa Sehari-hari. Perkembangan ini dapat dianalisa dan direfleksikan sebagai, tidak hanya perubahan, tetapi terlebih penyempurnaan usaha untuk mencari makna dari makna.


a. Makna Dapat ‘Mendamaikan’ Bahasa Logika dan Bahasa Sehari-hari
            Pada periode pertama pemikirannya, Wittgenstein menunjukkan bahwa untuk menghindari kerancuan berbahasa seperti yang dilakukan oleh para filsuf pendahulunya, orang perlu menggunakan bahasa yang logis. Untuk memberi makna atas suatu obyek, bahasa yang digunakan harus mengikuti struktur yang berlaku dan dapat dimengerti oleh semua orang. Akan tetapi, pendapat ini kemudian ia sanggah sendiri, dengan menyatakan bahwa bahasa logika hanya mencerminkan bahasa tertentu. Ia merujuk pada kenyataan bahwa bahasa logika akan cenderung mengungkapkan istilah-istilah yang sukar dipahami, seperti entitas, eksistensi, esensi, realitas dan lain sebagainya.
Dalam menyatakan suatu makna, orang bisa saja menggunakan bahasa sehari-hari yang lebih sederhana. Hanya saja, pemikiran ini perlu dikritisi lebih lanjut apakah bahasa sehari-hari dapat menjangkau makna dari semua proposisi yang hanya dapat dijangkau oleh bahasa logika. Dalam menanggapi pertanyaan ini, pemaknaan bisa menjadi jalan untuk menciptakan semacam ‘rekonsiliasi’ atau pendamaian di antara bahasa logika dan bahasa sehari-hari. Kenapa tidak dimunculkan bahasa sehari-hari yang logis dalam memberi makna suatu obyek? Bahasa sehari-hari akan tetap bisa menjadi bahasa yang logis selama mengikuti struktur yang ada. Dengan demikian makna yang diungkapkan dalam bahasa tidak hanya terstruktur susunannya, namun bisa lebih dimengerti oleh semua orang, karena kata-kata yang dipakai lebih akrab di telinga orang kebanyakan. Sebagai contoh untuk kata ‘realitas’ bisa dipakai kata ‘kenyataan’, untuk kata ‘eksistensi’ bisa dipakai kata ‘keberadaan’, untuk kata ‘esensi’ bisa dipakai kata ‘intisari’ dan masih banyak contoh lainnya. Pada akhirnya, makna dari suatu obyek tidak hanya kemudian menjadi logis, tetapi juga lebih dipahami secara lebih luas.

b. Makna Perlu Menyingkap Intisari Obyek
            Perkembangan pemikiran Wittgenstein dari filsafat analitis menuju filsafat bahasa sehari-hari melalui teori “language games” sejatinya telah menunjukkan suatu gagasan bahwa makna tidak melulu menunjuk pada kenyataan yang dapat ditangkap oleh indera. “Language games” menekankan kegunaan dari bahasa alih-alih hanya berkutat pada bermakna atau tidaknya suatu pernyataan atau kalimat secara logis.
Dengan menekankan kegunaannya, maka bahasa diperluas untuk tidak hanya menunjuk pada apa yang hadir, tetapi pada apa yang terkandung pada suatu obyek, yang dimaksud di sini adalah intisari atau esensinya. Seperti halnya permainan-permainan, yang menjadi intisari di dalamnya adalah aturan-aturan yang menuntun permainan-permainan tersebut dapat berlangsung seperti seharusnya atau seperti yang diinginkan oleh para pelakunya. Dalam mengungkapkan makna ada aturan-aturan berbahasa yang perlu diikuti secara tepat. Ini akan menuntun orang ke dalam intisari suatu obyek yang hendak dimaknai dalam bahasa. Dari situ, makna lantas tidak hanya menunjuk keberadaan atau kenyataan suatu obyek yang bisa ditangkap oleh indera, namun lebih jauh lagi menyingkapkan intisari yang terkandung di dalamnya.

c. Makna Harus Mengungkapkan Kebenaran
            Dengan aturan-aturan berbahasa yang tepat seperti yang dimaksudkan oleh Wittgenstein dalam teori “language games”, usaha untuk memberi makna atas suatu obyek tidak hanya akan menyingkap intisari dari obyek itu sendiri, namun mestinya akan mengungkapkan kebenaran dari obyek tersebut.
Dalam “Truth and Meaning”, Donald Davidson menulis: “menyatakan suatu keadaan kebenaran adalah cara untuk memberi makna suatu kalimat”. Apa yang hendak dimaksudkan oleh Davidson di sini adalah untuk mengetahui makna suatu kalimat adalah dengan terlebih dahulu mengenal kondisi-kondisi yang membuat kalimat itu menjadi benar (Allan, 1986: 80). Ini hendak dimaksudkan bahwa kondisi atau syarat dalam mengungkapkan kebenaran suatu obyek atau suatu pernyataan adalah dengan menyingkapkan intisari yang terkandung di dalamnya. Untuk mendukung usaha ini, maka situasi yang melingkupi obyek atau pernyataan tersebut tidak dapat ditinggalkan begitu saja, agar usaha memberi makna lantas tidak menjadi pincang.
Kita bisa saja menghubungkan makna dengan kebenaran dan kebenaran dengan kalimat-kalimat; dan kalimat-kalimat selalu merujuk pada bahasa. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini bahwa kita tidak akan memahami apa-apa dari bahasa manusia jika kita tidak berusaha untuk memahami tuturannya (Strawson dalam Martinich, 1996:114). Tuturan yang dimaksudkan di sini, tentu saja tidak bisa dilepaskan begitu saja dari situasi dan kondisi kesekitaran yang melingkupinya.


VI. Kesimpulan
            Seluruh perkembangan pemikiran Ludwig Wittgenstein, meski mengandung sekian pertentangan dalam dirinya, telah mengarahkan kita pada suatu proses yang berkelanjutan untuk memaknai makna. Wittgenstein harus melompat dari satu aliran ke aliran yang lain, bahkan menciptakan aliran yang baru dalam filsafat bahasa untuk mencapai titik di mana makna sebagai bagian dari berbahasa perlu dikaji terus menerus. Filsafat makna Wittgenstein merupakan suatu contoh proses penyempurnaan dari gagasan bahwa “meaning is picture” yang menitikberatkan pada logika berbahasa menuju gagasan “meaning is use” yang menggarisbawahi pentingnya kegunaan berbahasa. Proses tersebut dilalui dengan menghasilkan dua karya besarnya, dari Tractatus Logico-Philosophicus menuju Philosophical Investigations. Dari keseluruhan proses panjang tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa makna tidak hanya harus bersifat logis, namun perlu lebih berguna dan untuk itu pula, perlu lebih ‘membumi’ dan meluas. Maka  dari itu, makna juga perlu memiliki di dalam dirinya kemampuan untuk menyingkapkan intisari dari suatu obyek, sehingga dari situ makna juga akan mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari obyek tersebut.


Daftar Pustaka
Allan, Keith. 1986. Linguistic Meaning (Volume One). London: Routledge and Kegan Paul.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Hadiwijono, Harun, Dr. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mustansyir, Rizal, Drs. 1988. Filsafat Bahasa: Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya. Jakarta: PT. Prima Karya.
Strawson, P.F. 1969. “Meaning and Truth” dalam Martinich, A.P. (ed.). 1996. The Philosophy of Language (Third Edition). Oxford: Oxford University Press.
Wibowo, Wahyu, Dr. 2011. Linguistik Fenomenologis John Langshaw Austin: Ketika Tuturan Berarti Tindakan. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing.
Wittgenstein, Ludwig. 1922. Tractatus Logico-Philosophicus. London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co., Ltd.

Wittgenstein, Ludwig. 1953. Philosophical Investigations (trans.: G.E.M. Anscombe). Oxford: Basil Blackwell Ltd. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar