Pendahuluan
Orientasi hidup seseorang atas salah satu cara dapat
dinilai dari gaya berbahasanya, entah dalam bahasa keseharian maupun dalam
situasi yang lebih formal. Gaya berbahasa yang dimaksud tidak hanya dilihat
dari segi teknisnya, baik pemilihan kata, morfologi maupun fonologinya. Yang
juga dapat diperhatikan di sini adalah makna dan situasi yang dihadirkan oleh
si penutur dalam tuturannya. Di sinilah bahasa dapat ditelaah secara filsafati.
Dalam sejarah filsafat, ada beberapa
filsuf yang telah menelaah bahasa dari berbagai aspeknya. Namun, salah satu
filsuf yang sangat fokus dalam penelaahan filsafat bahasa sehari-hari adalah
John Langshaw Austin dari Universitas Oxford, Inggris. Melalui linguistik
fenomenologinya, Austin menelaah bahasa secara filsafati dari tindak tutur
manusia yang terwujud dalam Teori Tindak Tutur (Speech Acts).
Paper ini akan membahas Teori Tindak
Tutur yang dicetuskan oleh John Langshaw Austin. Pembahasannya akan diurutkan
mulai dari sejarah munculnya filsafat bahasa, teori tindak tutur Austin itu
sendiri dan akan diakhiri dengan aplikasi Austin atas teori tersebut.
I. Filsafat Bahasa dan Linguistik Fenomenologi
Awal abad 20 merupakan masa-masa kelahiran Filsafat
Bahasa yang dipandang sebagai aliran pemikiran yang paling fenomenal dan
dikategorikan sebagai logosentris, karena fokusnya pada bahasa sebagai pusat
wacana filsafat. Melalui prinsip bahwa suatu ungkapan bahasa harus sesuai
dengan pemakaian dan aturan tertentunya, Filsafat Bahasa bahkan dianggap
memiliki metode yang kritis dan netral, karena mampu membersihkan bahasa para
filsuf sebelumnya dari pemikiran yang melingkar-lingkar, tidak jelas dan tidak
terlibat dengan realitas terutama di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain hal
ini, metode yang digunakan Filsafat Bahasa juga dianggap sebagai metode yang
khas dalam ilmu filsafat, karena selain digunakan untuk mencari hakikat bahasa
juga sekaligus dapat dijadikan teori untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji
kebenaran ungkapan-ungkapan bahasa. (Wibowo, 2011:4) Dari segelintir figur
filsuf Filsafat Bahasa, dua di antaranya yang dapat disebutkan telah memberi
pengaruh yang besar dalam perkembangan pemikiran Filsafat Bahasa adalah Ludwig
Wittgenstein dan J.L. Austin. Wittgenstein merupakan peletak dasar Filsafat
Bahasa modern, sedangkan J.L. Austin, murid Wittgenstein, adalah penerusnya.
Untuk dapat memahami pemikiran dan gagasan Austin, maka perlu terlebih dahulu
dijelaskan hidup, karya serta pemikiran Wittgenstein.
a. Hidup dan Karya Ludwig Wittgenstein.
.Ludwig
Wittgenstein adalah seorang filsuf keturunan Yahudi dari Austria. Ia lahir di
Wina, pada tanggal 26 April 1889 sebagai yang bungsu dari delapan anak. Pada
tahun 1906, Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di
Berlin. Dua tahun kemudian, ia melanjutkan studi tekniknya di Manchester. Di sana ia mengadakan riset dalam bidang
teknik pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk
teknik baling-baling perlu banyak pengetahuan mengenai matematika, perhatiannya
semakin tertarik oleh matematika dan filsafat matematika. Pada tahun 1911, G. Frege,
seorang matematikawan menasihatinya untuk berguru filsafat pada Bertrand Russel
di Universitas Cambridge. Di sanalah, Wittgenstein mulai merintis karirnya
sebagai filsuf. Ia kemudian dikenal sebagai salah seorang profesor filsafat
kenamaan di universitas tersebut, meski pada tahun 1947 ia meninggalkan
keprofesorannya tersebut. Dua karya Wittgenstein yang paling dikenal adalah Tractatus logico-philosophicus dan Philosophische Untersuchungen/Philosophical
Investigations. Pada tanggal 29 April 1951, ia meninggal dunia di Cambridge
akibat kanker, setelah menderita sakit selama 2 tahun. (Bertens, 2001:41-43)
b. Pemikiran Wittgenstein
Dua karya Wittgenstein yang sudah
disebutkan pada bagian sebelumnya memuat gagasan utama filsafatnya sendiri yang
nantinya akan mempengaruhi gagasan fisafat J.L. Austin. Dalam Tractatus, Wittgenstein berbicara
mengenai logika bahasa. Salah satu unsur yang sangat penting dalam uraiannya
adalah apa yang disebut dengan picture
theory atau “teori gambar” yang dapat dianggap sebagai teori mengenai
makna. Sebagaimana tersirat dalam buku ini, Wittgenstein berpendapat bahwa
bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan
suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa.
Sedangkan dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menolak terutama tiga
hal yang dulu diandalkan begitu saja dalam teori pertama, yakni:
(1) bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni
menetapkan state of affairs (keadaan-keadaan
faktual),
(2) bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara
saja, yakni menggambarkan keadaan faktual, dan
(3) bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa
logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk
dilihat.
Menurut Wittgenstein, kata-kata dapat dipakai dengan
banyak cara, dapat dibandingkan dengan alat-alat. Ada macam-macam alat yang
mempunyai macam-macam fungsi. Demikian halnya juga dengan bahasa, maksudnya
kata-kata dan kalimat-kalimat yang kita pakai. Ada banyak sekali cara untuk
menggunakan bahasa, bahkan menurut perkataan Wittgenstein sendiri banyak cara
yang tak terbilang jumlahnya, sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan
oleh para ahli logika. Untuk menjelaskan bahwa bahasa dipakai dengan rupa-rupa
cara, dalam Philosophical Investigation Wittgenstein
memperkenalkan istilah language games (permainan-permainan
bahasa). Sebagaimana terdapat banyak permainan, demikian juga terdapat banyak
“permainan bahasa”, banyak cara untuk menggunakan bahasa. Dalam hal ini,
Filsafat harus menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda,
menunjukan aturan-aturan yang berlaku didalamnya, menetapkan logikanya dan
sebagainya. Filsafat tidak campur tangan dalam pembentukan suatu permainan
bahasa. Filsafat hanya melukiskan berfungsinya. (Bertens, 2001:51-53)
II. Teori Tindak Tutur (Speech Acts) Menurut J.L. Austin.
Boleh dikata pemikiran Wittgenstein
sedikit banyak mempengaruhi J.L. Austin dan gagasan-gagasan filsafatinya. Bagaimanapun
juga, Austin kemudian lebih mengeksplorasi filsafatnya sendiri. Bagian ini akan
mengemukakan hidup, karya dan pemikiran J.L. Austin terutama teori tindak
tuturnya.
a. Hidup dan Karya J.L. Austin
J.L. Austin lahir pada
tanggal 26 Maret 1911 di Lancaster, Inggris. Ia belajar filologi klasik serta
filsafat di Oxford dan menjadi profesor di sana. Pada masa Perang Dunia II, ia
bertugas sebagai tentara pada British
Intelligence Corps dan mencapai pangkat letnan-kolonel. Meski ia sendiri
menerbitkan sangat sedikit beberapa paper-nya
yang ia bawakan pada pertemuan-pertemuan ilmiah, namun dengan kuliah-kuliahnya
dan diskusi-diskusi berkala, ia memberi pengaruh besar dalam kalangan filsuf
bahasa di Oxford. Di antara para filsuf di Inggris, mungkin tidak ada orang
yang begitu bersemangat menyelidiki bahasa pergaulan yang biasa seperti J.L.
Austin. Ia yakin bahwa orang dapat belajar banyak dengan memperhatikan bahasa
orang lain. Dalam bahasa, terdapat banyak sekali distingsi dan nuansa halus,
yang diperkembangkan selama banyak generasi oleh masyarakat pengguna bahasa
dalam usaha untuk mengungkapkan pemikiran mereka. Dari pada itu, J.L. Austin
selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi
konkret di mana ucapan-ucapan tersebut dan dari fenomena-fenomena yang
dimaksudkan dengannya. Pertanyaan yang sering diketengahkan oleh J.L. Austin
adalah what to say when, di mana
unsur bahasa (what) dianggap sama
penting dengan dunia fenomena (when).
(Bertens, 2002:60-61)
Karya-karya besar J.L.
Austin (yang diterbitkan setelah meninggalnya di tahun 1960 oleh J.O. Urmson
dan G.J. Warnock) adalah sebagai berikut:
-
Philosophical Papers (1961): kumpulan sejumlah makalah yang pernah dibawakan oleh J.L. Austin
dalam pelbagai kesempatan,
-
Sense and Sensibilia (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang pernah ia bawakan di Universitas
Oxford,
-
How to Do Things with Words (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang ia bawakan di
Universitas Harvard, Amerika Serikat, pada tahun 1955.
b. Teori Tindak Tutur (Speech Acts)
Secara garis besar, Austin
berkeyakinan bahwa dari bahasa biasa sehari-hari akan ada banyak hal yang dapat
dipelajari, mengingat banyaknya distinsi dan nuansa halus yang dikembangkan
oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap
segala realitas. Ia juga meyakini bahwa tidak sedikit masalah filosofis yang
akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung
dalam bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, Austin berprinsip bahwa penggunaan
bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena
yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip inilah yang disebut
oleh Austin dalam istilah linguistik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan
fenomena melalui analisis bahasa. (Wibowo, 2011:27)
Dalam karyanya How
to Do Things with Words-lah, J.L. Austin sendiri berusaha untuk
memperincikan teori tindak tutur (speech
acts) yaitu tindakan bahasa yang berperan ketika seseorang mengucapkan
suatu kalimat atau ucapan. Teori tindak tutur, yang dilandasi oleh pemikiran
mentornya, Wittgenstein, tersebut dibangun oleh Austin melalui tesis “dalam
mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan sesuatu pula”. Pada prinsipnya
tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama. Tiap
pernyataan yang dituturkan mencerminkan tindakan si penuturnya itu. Dalam
ungkapan lain, tindak tutur tidak hanya mengungkapkan gaya bicara si penutur,
tetapi juga merefleksikan tanggung jawab si penutur terhadap isi tuturannya,
mengingat isi tuturannya itu mengandung maksud-maksud tertentu dalam
mempengaruh pendengarnya. J.L. Austin membagi tindak tutur ke dalam tiga jenis,
yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts),
(2) tindak ilokusi (illocutionary acts)
dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary
acts). Berikut ini adalah uraiannya (Wibowo, 2011:36-37):
1) Tindak lokusi, yaitu tindak tutur si penutur dalam
menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur
itu untuk melaksanakan isi tuturannya. Austin menggolongkan tindak lokusi ke
dalam tiga sub-jenis:
-
Tindak fonetis (phonetic acts), yakni tindak mengucapkan
bunyi tertentu.
-
Tindak fatis (phatic acts), yakni tindak tutur
mengucapkan kosakata tertentu yang membentuk suatu gramatika tertentu yang
dikenal pula sebagai kalimat langsung.
-
Tindak retis (rhetic acts), yakni tindak tutur dengan
tujuan melaporkan apa yang dituturkan si penutur, yang juga disebut sebagai
kalimat tak langsung.
2) Tindak ilokusi, yakni tindak tutur si penutur yang hendak
menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si
penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya. Dengan kata lain,
dalam tuturan tersebut terkandung suatu kekuatan yang mewajibkan si penutur
melaksanakan apa yang dituturkannya. J.L. Austin membagi tindak ilokusi ke
dalam lima sub-jenis:
-
Verdiktif (verdictives
acts), yakni tindak tutur yang
ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah, namun
keputusan tersebut bukan keputusan yang bersifat final.
-
Eksersitif (exercitives acts), yakni tindak tutur
yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh.
-
Komisif (commissives acts), yakni tindak tutur
yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur
melakukan sesuatu.
-
Behabitif (behabitives acts), yakni tindak tutur
yang mencerminkan kepedulian sosial yang bertalian dengan rasa simpati, saling
memaafkan atau saling mendukung.
-
Ekspositif (expositives acts), yakni tindak tutur
yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi yang berasal dari
referensi tertentu.
3) Tindak perlokusi, yakni efek tindak tutur si penutur bagi
pendengarnya. Dalam penegasan lain, bila tindak lokusi dan tindak ilokusi lebih
menekankan pada peranan tindakan si penutur, pada tindak perlokusi yang
ditekankan adalah bagaimana respons pendengarnya. Hal ini, menurut J.L. Austin,
berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan.
Melalui
tindak tutur, J.L. Austin memang hendak menegaskan bahwa suatu analisis
terhadap ungkapan bahasa jangan hanya membatasi diri pada makna ujaran saja,
tetapi juga harus meneliti akibat yang dapat ditimbulkan oleh ujaran itu. Dalam
kaitan ini, Austin mengingatkan bahwa diperlukan suatu ‘kewaspadaan’ dalam
mendengar atau membaca suatu ungkapan bahasa, sekalipun ungkapan tersebut telah
bersubyek dan berpredikat. Hal ini agaknya amat ditekankan oleh Austin,
mengingat di dalam tiap-tiap bahasa tersirat suatu orientasi hidup dari si
pengguna bahasa.
III. Aplikasi Teori Tindak Tutur: Teknik Laboratorium
Setelah dipaparkan dan
dipresentasikan di pelbagai forum dan kuliah, Teori Tindak Tutur sebagai bagian
dari linguistik fenomenologis Austin semakin dikenal dan diterima di kalangan
filsuf dan pelajar Filsafat Bahasa di Universitas Oxford. Perkembangan yang
sedemikian pesat ini disilanyir oleh karena sifat-sifat Filsafat Bahasa Austin
sebagai berikut (Wibowo, 2011:63-64):
1)
Menggarisbawahi
pertanyaan dengan cara apa dan bagaimana kata-kata dipakai;
2)
Menggarisbawahi
penggunaan metode analisis bahasa yang bermacam-macam, sebagai wujud protes
para filsufnya terhadap penyeragaman metode ala linguistik struktural;
3)
Menggarisbawahi
pendeskripsian secara rinci penggunaan bahasa, karena dengan demikian akan ada
banyak masalah filosofis yang dapat dipecahkan.
Dengan
menggarisbawahi penggunaan bahasa biasa bagi maksud dan tujuan filsafat, Teori
Tindak Tutur yang dikemukakan oleh Austin tetap memiliki relevansi dalam
kehidupan akademik dan intelektual dewasa ini. Perkembangan zaman yang
sedemikian cepat dan mendunia seperti sekarang masih menawarkan kepada kita
semua kebebasan paradigmatik dan wawasan intelektual yang sangat luas. Ketika
kita hanya dipusingkan oleh pembuktian general
theory yang nyata-nyata sifat kebenarannya semu belaka, pada saat itulah kita
akan kehilangan nilai-nilai kehidupan yang justru memiliki konteks utama di
dalam kehidupan sehari-hari (Wibowo, 2011:51-52)
a. Wujud dan Langkah-langkah Teknik Laboratorium
Sebagai
pembuktian atas relevansi Teori Tindak Tutur, Austin telah memulai suatu
aplikasi atas teorinya tersebut dalam metode yang disebut dengan teknik
laboratorium. Teknik ini merupakan metode analisis bahasa yang digunakan untuk
menganalisis ungkapan filosofis para filsuf terdahulu. Pertimbangan utama
Austin dalam mengaplikasikan teorinya dalam metode ini adalah kenyataan akan
adanya hal paling kritis mengenai bahasa yang digunakan oleh para filsuf.
Semestinya, para filsuf lebih mencerminkan kecerdasan mereka dalam
mengembangkan dan mendayagunakan kekayaan dan keanekaragaman yang terdapat di
dalam bahasa biasa (bahasa sehari-hari) untuk menjelaskan secara jernih dan
jelas masalah-masalah filosofis yang ada. Perwujudan dari teknik laboratorium
adalah dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi yang tugasnya menganalisis penggunaan
bahasa dari para filsuf. Cara kerjanya adalah dengan mengumpulkan dan
menyelidiki istilah-istilah dan ungkapan khusus yang terdapat di dalam
teks-teks filsafat dari para filsuf, kemudian mencari dasarnya di dalam bahasa
biasa. Sebagai langkah terakhir adalah membuat kesimpulan apakah
istilah-istilah dan ungkapan khusus tersebut sesuai dengan maksud filsufnya. (Wibowo,
2011: 59-60)
b. Hubungan Teknik Laboratorium dalam Metafisika dan
Idealisme
Teknik
laboratorium yang digunakan oleh Austin akan sangat terlihat ketika dihubungkan
dengan cara berpikir metafisik atau idealis, yang menganggap dunia kedua lebih
tinggi kadar kenyataannya dan oleh karena itu dapat ditentukan melalui
pancaindera. Austin kemudian menyelidiki sejumlah istilah yang menurut kalangan
idealis mencakup seluruh realitas, contohnya: ‘roh’, ‘materi’, ‘kebenaran’,
‘transendensi’, dan ‘imanensi’. Menurut Austin, istilah-istilah metafisik dan
idealis tersebut ternyata tidak berkaitan dengan hal yang benar atau yang
salah, tetapi memang sama sekali tidak bermakna. Maka dari itulah, ditegaskan
oleh Austin bahwa bahasa jangan justru menjadi penyesat dalam berfilsafat,
melainkan harus dipandang sebagai sumber pengetahuan. Selaras dengan hal ini,
Austin menyinggung hubungan antara persepsi dan bahasa dengan menguji doktrin
yang mengatakan bahwa manusia sebenarnya tidak pernah mengalami secara langsung
benda-benda materi, kecuali mencerapnya melalui data inderawi (sense data).
Dari
sini Austin hendak menegaskan bahwa kebenaran sangat tergantung situasi ketika
sesuatu hal ditampilkan. Dengan kata lain, yang disebut sebagai kebenaran
sangat tergantung situasi yang konkret kapan suatu kata, ungkapan atau suatu
kalimat diutarakan. Berkaitan dengan hal ini, Austin menggarisbawahi bahwa
kesalahan filosofis sebenarnya timbul dari kesalahan pengamatan yang diserap
melalui data inderawi tersebut. Kesalahan tersebut merupakan konsekuensi logis
bahwa pemikiran filsafat sangat luas dan kompleks, apalagi bila didekati hanya
dengan satu metode, sehingga berdampak pada kebuntuan para filsuf dalam
memecahkan masalah-masalah filosofis yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapan
tertentu, seperti ‘kebebasan’, ‘kebenaran’ atau ‘kepribadian manusia’. Dengan
demikian, wajarlah jika teknik laboratorium dipandang sangat sistematik, lebih
akurat dan holistik, karena terbukti mampu menganalisis makna kata, ungkapan,
serta bentuk-bentuk sintaksisnya yang bertalian dengan maksud penulisnya. (Wibowo,
2011:60-62)
III. Kesimpulan
Pada akhirnya, seluruh pembahasan
mengenai Teori Tindak Tutur dalam linguistik fenomenologis Austin ini berujung
pada keyakinan bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat manusia untuk
mengekspresikan dirinya ataupun sebagai alat komunikasi antara dirinya dengan
sesamanya. Manusia dengan sesamanya akan selalu terhubung dalam wadah-wadah
konstruksi sosial dan budaya, sehingga tak pelak lagi nilai-niali kehidupannya
akan tercermin dalam bahasa yang dituturkannya. Singkat kata, bahasa dan seluruh
makna yang terkandung di dalamnya merupakan aspek teramat penting dalam hidup
manusia.
Ungkapan ide atau gagasan manusia
dan hasil refleksi filosofis para filsuf (yang juga adalah manusia) ikut
tertuang pula dalam bahasa. Baik yang terwujud dalam nilai-nilai kebijaksanaan,
masalah hakiki kehidupan dan buah-buah ilmu pengetahuan maupun keyakinan,
kesemuanya dituturkan ke dalam bahasa untuk dapat ditangkap oleh manusia
lainnya. Hubungan antara bahasa dengan filsafat mestinya dapat menjadikan
manusia makin beradab, karena ia hidup dalam kesekitaran yang sifatnya plural
dan terjalin dalam relasi dialogis.
Maka dari itulah, John Langshaw
Austin, sebagai pencetus Teori Tindak Tutur dan sekaligus pengembang aliran
Filsafat Bahasa Biasa bersama Ludwig Wittgenstein sangat mengedepankan
pentingnya mengobservasi penggunaan bahsa dari sudut maknanya dengan kritis.
Tujuannya adalah agar bahasa tidak lagi menjadi alat kekuasaan bagi pribadi
ataupun pihak tertentu yang mengutamakan dan menghendaki kesamaan cara hidup di
bawah satu cara berpikir atau satu tujuan tunggal.
Daftar Pustaka
Austin, J.L. 1955. How
To Do Things With Words. Harvard: Harvard University Press.
Bertens, K. 2002. Filsafat
Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Liberman, Alvin M. and Whalen, Doug H. May 2000. On The Relation of Speech to Languange
in “Trends of Cognitive Science Vol. 4 Ed. 5”.
Longworth, Guy. 2010. J.
L. Austin (1911-1960). University of Warwick.
Parker, Frank. 1986. Linguistics
For Non-Linguists. London: Talyor & Francis. Ltd.
Wibowo, Wahyu. 2011. Linguistik Fenomenologis John Langshaw
Austin: Ketika Tuturan Berarti Tindakan. Jakarta: Bidik-Phronesis
Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar