I. Pendahuluan
Sejak awal peradaban, manusia selalu berusaha untuk
memberi makna atau arti dari setiap aspek kehidupannya, apa yang ia alami dan
ia rasakan melalui panca inderanya. Usaha untuk memaknai ini diwujudkan dalam
bahasa yang merupakan sekaligus alat untuk berfilsafat. Maka dari itulah pihak
yang paling awal memanfaatkan makna dalam menelaah ide-ide ataupun
mengungkapkan pengalaman dalam bahasa adalah adalah para filsuf, meski kemudian
makna sebagai obyek studi lebih banyak dibahas dalam semantik.
Sesungguhnya perkembangan
sejarah filsafat itu sendiri diwarnai oleh pertentangan ide dari para filsuf.
Dalam hal ini sejarah mengajarkan kepada kita –secara tidak langsung- latar
belakang timbulnya persoalan-persoalan filsafat dengan berbagai kekhasannya
yang ditandai oleh masing-masing periode. Periode yang satu merupakan reaksi
terhadap periode sebelumnya ataupun mengkoreksi dan menambahkan beberapa hal
yang dianggap penting (Mustansyir, 1988:56)
Perkembangan yang kurang
lebih sama juga berlaku dalam usaha menelaah makna dalam bahasa. Filsuf yang
terlebih dahulu melakukannya akan disanggah oleh filsuf selanjutnya. Lebih
istimewa lagi, terdapat seorang filsuf yang telah menelaah makna dalam bahasa pada satu periode
dan kemudian akan mengkritisi atau menyanggah pemikirannya sendiri pada periode
selanjutnya. Filsuf yang dimaksud adalah Ludwig Wittgenstein.
Makalah ini akan membahas
perkembangan pemikiran Wittgenstein dalam menelaah makna. Sebagai masalah
utamanya adalah apa sajakah gagasan-gagasan Wittgenstein mengenai makna dan
bagaimana proses perkembangannya. Masalah tersebut akan didekati dengan merujuk
pada referensi-referensi yang menunjukkan proses pemikiran Wittgenstein
mengenai bahasa dan terlebih yang berkaitan dengan makna.
II. Tentang Ludwig Wittgenstein
Ludwig
Wittgenstein adalah seorang filsuf keturunan Yahudi dari Austria. Ia lahir di
Wina, pada tanggal 26 April 1889 sebagai yang bungsu dari delapan anak. Pada
tahun 1906, Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di
Berlin. Dua tahun kemudian, ia melanjutkan studi tekniknya di Manchester. Di sana ia mengadakan riset dalam bidang
teknik pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk
teknik baling-baling perlu banyak pengetahuan mengenai matematika, perhatiannya
semakin tertarik oleh matematika dan filsafat matematika. Pada tahun 1911, G.
Frege, seorang matematikawan menasihatinya untuk berguru filsafat pada Bertrand
Russel di Universitas Cambridge. Di sanalah, Wittgenstein mulai merintis
karirnya sebagai filsuf. Ia kemudian dikenal sebagai salah seorang profesor
filsafat kenamaan di universitas tersebut, meski pada tahun 1947 ia
meninggalkan keprofesorannya tersebut. Dua karya Wittgenstein yang paling
dikenal adalah Tractatus
logico-philosophicus dan Philosophische
Untersuchungen/Philosophical Investigations. Pada tanggal 29 April 1951, ia
meninggal dunia di Cambridge akibat kanker, setelah menderita sakit selama 2
tahun. (Bertens, 2001:41-43).
III. Periode Pertama Wittgenstein: Tractatus Logico Philosophicus
Menjadi murid sekaligus sahabat dari Bertrand Russell
membuat Wittgenstein mengikuti aliran filsafat yang dihidupi Russell yakni
filsafat analitik. Dalam filsafat analitiknya, Bertrand Russell sangat terkenal
dengan teori atomisme logis yang nantinya juga berpengaruh pada karya pertama
Wittgenstein, yakni Tractatus Logico
Philosophicus.
a. Atomisme Logis Russell
Sebelum lanjut membahas secara lebih mendalam mengenai Tractatus, terlebih dahulu akan dibahas
mengenai atomisme logis Russell. Terdapat tiga poin utama yang menjadi tujuan
filsafati dari atomisme logis Russell (Hidayat, 2009:48), yakni:
1)
filsafat mempunyai
tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling
padat dan sederhana. Tujuan ini untuk merumuskan pandangan yang pada akhirnya
akan membentuk suatu sintesis.
2)
filsafat harus mampu
menghubungkan logika dan matematika. Bagi Russell seluruh matematika dapat
dikembalikan kepada beberapa prinsip logis. Ia menghendaki dalam dunia
pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksakta) dan jurusan sastra tidak
dipisahkan. Menurutnya, logika dan tata bahasa tidak hanya penting bagi bahasa
itu sendiri, namun juga merupakan dasar bagi matematika.
3)
filsafat harus
merujuk pada analisis bahasa. Ini merupakan tujuan puncak dari filsafat
Russell, yakni mencari pengetahuan yang benar. Baginya, dengan melakukan suatu
analisis yang benar, akan diperoleh pengetahuan yang benar pula mengenai
realitas.
Dengan demikian,
seluruh filsafat Russell berporos pada bahasa logika. Menurutnya, bahasa logika
akan sangat membantu aktivitas analisis bahasa. Ia berkeyakinan bahwa teknik
analisis bahasa yang didasari oleh bahasa logika lebih mampu menggambarkan
hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.
Filsafat analitis dan teori atomisme
logis Russell inilah yang akan banyak berpengaruh pada karya besar pertama
Ludwig Wittgenstein. Meksi ada sedikit perbedaan, namun boleh dikata,
Wittgenstein cukup mengikuti pola pemikiran Russell terutama dalam teori
atomismenya.
b. Tractatus Logico
Philosophicus: Makna adalah Gambar
Pada awalnya, Tractatus
merupakan tulisan Wittgenstein yang berbahasa Jerman, “Logis Philosophische Abhandlungen” yang dimuat di majalah Annlen der Naturphilosophie (1921).
Naskah ini ditulis oleh Wittgenstein sejak 1918, yakni di sela-sela tugasnya
bertempur di front timur dan selatan ketika Perang Dunia I meletus, dan bahkan
selama menjadi tawanan tentara Italia. Pada tahun 1922, naskahnya tersebut
diterbitkan sebagai buku dalam dua bahasa (Jerman dan Inggris), yakni Logis-Philosophische Abhandlungen dan Tractatus Logico-Philosophicus (Wibowo, 2011:21)
Di dalam karya pertamanya ini, yang
dibuka dengan kata pengantar oleh Bertrand Russell sendiri, Wittgenstein sudah
langsung mengkritisi bahasa sehari-hari, sebagai lawan dari bahasa logika, yang
telah menyebabkan kerancuan berfilsafat oleh para filsuf pendahulunya:
Dalam bahasa sehari-hari, kerapkali terjadi
bahwa kata yang sama memiliki makna dalam dua cara yang berbeda, sehingga
berlaku pada dua simbol yang berbeda...Maka dari itu mudahlah muncul suatu
kebingungan yang fundamental dalam segenap keseluruhan filsafat.
(Wittgenstein,1922:35-36)
Bagi Wittgenstein, kerancuan yang
terjadi dalam bahasa filsafat disebabkan oleh sikap para filsuf yang sedemikian
semena-mena terhadap penggunaan bahasa. Ini didasari oleh ketidakperdulian
mereka terhadap aturan-aturan pikir seperti yang telah ditunjukkan dalam logika
(Mustansyir, 1988:62).
Kebanyakan proposisi dan pertanyaan yang
telah ditulis mengenai permasalahan filosofis tidaklah salah, hanya tidak masuk
akal. Maka dari itu, kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu
dan hanya akan menyatakan ke-tidak masuk akal-an mereka. Kebanyakan pertanyaan
dan proposisi dari para filsuf dihasilkan dari kenyataan bahwa kita tidak
mengerti logika bahasa kita.
(Wittgenstein, 1922:39)
Sebagai solusi atas permasalahan
kerancuan berbahasa para filsuf terdahulu, Wittgenstein menawarkan suatu teori
sebagai bagian pertama filsafat maknanya, yakni “meaning is picture” atau “makna adalah gambar”. Inti dari teori ini
adalah pandangan bahwa terdapat relasi yang erat dan mutlak antara bahasa
(dunia simbol) dengan dunia fakta di luar bahasa. Dunia itu sendiri ditafsirkan
sebagai jumlah keseluruhan fakta dan bukan jumlah keseluruhan benda. Dunia
keseluruhan ditentukan oleh fakta-fakta ini dan bukan ditentukan oleh hal-hal
lain. Fakta ialah suatu sachverhalt (Jer.),
yaitu hubungan-hubungan yang dimiliki oleh obyek. Merupakan sesuatu yang hakiki
bagi suatu obyek untuk menjadi bagian penyusunan suatu sachverhalt. Suatu sachverhalt
dapat dipikirkan, jika kita dapat membuat gambaran mengenainya. Jumlah
keseluruhan pikiran yang benar memberikan gambaran mengenai dunia. Pikiran
adalah kalimat (proposisi) yang
bermakna. Di dalam kalimat (proposisi)
terungkap pikiran dengan cara yang dapat ditangkap oleh panca indera kita
(Hidayat, 2009:56).
Hanya proposisi
yang memiliki makna; sebuah nama hanya akan bermakna jika ia berada dalam
konteks sebuah proposisi.
(Wittgenstein,
1922:34)
Singkat kata, pada periode pertama
ini, melalui Tractatus
Logico-Philosophicus, Wittgenstein berpendapat bahwa hanya
pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki makna: meaning is picture. Maksudnya adalah bahasa akan bermakna jika
dimanfaatkan untuk menggambarkan suatu keadaan faktual. Maka dari itulah, makna
dalam bahasa hanya akan hadir jika bahasa dipakai dengan tujuan untuk
menetapkan keadaan-keadaan faktual, state
of affairs dan semua bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang
sempurna (Hidayat, 2009:73)
IV. Periode Kedua Wittgenstein: Philosophical Investigations
Oleh Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus diajukan sebagai disertasi doktoralnya di Universitas
Cambridge pada tahun 1929. Setelah dinyatakan lulus, ia sempat mengajar
filsafat di sana. Pada rentang waktu antara 1936-1944, ia menyepi di Norwegia
dan menulis karya keduanya, yakni Philosophical
Investigations yang ia persiapkan juga dalam bahasa Jermannya dengan judul Philosophisce Untersuchungen (Wibowo,
2011:22-23)
a. Philosophical
Investigations: Makna adalah Kegunaan
Melalui karya besar
keduanya inilah, terjadi perkembangan yang signifikan dan perubahan yang
teramat mendasar pada filsafat makna Wittgenstein. Dalam periode sebelum tahun
1930 atau pada periode pertamanya, pemikiran Wittgenstein bertumpu pada
atomisme logis Russell. Lalu pada periode keduanya ini melalui karyanya Philosophical Investigations, Wittgenstein
menentang dan mengkritisi pemikirannya sendiri yang tertuang dalam Tractatus. Ia berpendapat bahwa makna
suatu pernyataan sangat bergantung pada penggunaan jenis bahasa tertentu: meaning is use. Ini dikarenakan pada
kenyataan bahwa bahasa memiliki banyak fungsi. Sementara itu, kata-kata,
bagaikan alat-alat, dapat dipakai dengan banyak cara. Maka dari itulah,
Wittgenstein berpendapat bahwa perhatian harus dialihkan dari bahasa logika
kepada pemakaian bahasa biasa. Dengan pendapatnya ini, Wittgenstein secara
tidak langsung telah membuka jalan ke arah filsafat baru yang sangat berlainan
dengan aliran atomisme logis maupun filsafat analitik (Hidayat, 2009:74).
Di dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein
menegaskan bahwa teori gambar, yang ia cetuskan dalam Tractatus, tidak mampu memperlihatkan struktur tersembunyi dari
segala macam bahasa, kecuali hanya melukiskan jenis bahasa tertentu. Maka dari itulah,
ia menyatakan bahwa tak mungkin bahasa hanya digunakan untuk satu tujuan, yakni
untuk menetapkan keadaan-keadaan faktual. Berkaitan dengan hal ini,
Wittgenstein menegaskan bahwa kata-kata atau bahasa dapat digunakan dengan
banyak cara. Ini berarti tidak ada gunanya dan tidak mungkin untuk merumuskan
berfungsinya alat-alat hanya dengan satu cara. Dengan kata lain, bahasa tidak
digunakan hanya untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis, tetapi juga
digunakan dalam banyak cara yang berbeda dalam rangka mengungkapkan pembenaran,
pertanyaan-pertanyaan, perintah, pengumuman dan gejala lainnya yang dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Untuk menjelaskan bahwa bahasa dapat digunakan
untuk banyak cara, Wittgenstein memperkenalkan istilah language games atau permainan bahasa.
Dalam
latihan penggunaan bahasa, satu pihak menyebut kata-katanya, sedangkan yang
lain bertindak atasnya. Dalam perintah suatu bahasa proses yang mengikuti akan
terjadi: seorang pelajar akan menamai suatu objek; yakni, ia mengucapkan kata
ketika gurunya menunjuk pada sebuah batu...Kita dapat memikirkan seluruh proses
penggunaan kata dalam contoh di atas sebgai satu dari permainan-permainan yang
digunakan anak-anak untuk mempelajari bahasa ibu mereka. Saya menyebut
permainan ini sebagai “permainan bahasa”... Saya juga harus menyebut seluruh
bahasa yang ada dan tindakan yang terjalin di dalamnya sebagai “permainan
bahasa”.
(Wittgenstein,
1953:5)
Inti gagasan dari “permainan bahasa” adalah bahwa suatu
jenis bahasa tertentu terdiri dari kata-kata dan memiliki aturan pemakaiannya
sendiri (tata bahasa) seperti dalam suatu permainan. Permainan itu banyak
ragamnya, seperti permainan dengan tongkat, kartu, bola, pistol dan yang
lainnya. Sebagaimana banyaknya permainan, demikian pula terdapat banyak
permainan bahasa seperti memberi perintah, membuat lelucon, memberikan beberapa
contoh, melaporkan suatu berita, bertanya, berseru, bermain sandiwara, berdoa,
melukiskan suatu peristiwa dan menyatakan cinta. Setiap permainan pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan, begitu juga dengan permainan bahasa. Kata-kata yang
dipakai mendapat maknanya dalam aktivitas itu. Satu kata tertentu mempunya arti
yang terus menerus dapat berubah. Karena itulah makna suatu kalimat selalu
bergantung pada cara pemakaian atau penggunaan kalimat itu sendiri.
Untuk sebuah kelas yang besar atas kasus-kasus –meski
tidak untuk semuanya- dalam mana kita memanfaatkan kata “makna” dapat
diungkapkan seperti ini: makna dari sebuah kata adalah penggunaannya dalam
bahasa. Dan makna sebuah nama terkadang dijelaskan dengan menunjuk pada pengusungnya.
(Wittgenstein,
1953:21)
Pernyataan Wittgenstein
ini hendak menunjukkan bahwa kita dapat terjebak dalam kerancuan bahasa,
manakala kita menjelaskan makna suatu kata dengan memisahkannya dari situasi
yang melingkupinya. Maka dari itu, sebelum kita menjelaskan makna suatu kata
atau istilah, terlebih dahulu kita memeriksa dalam situasi yang bagaimana kata
itu dipergunakan (Mustanyir, 1988:94).
b. Wittgenstein: Pencetus The Philosophy of Ordinary Language
Pembahasan “language games” atau permainan bahasa
oleh Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations menunjukkan bahwa filsafat analitik mengalami perkembangan
dan perubahan orientasi. Perubahan ini menunjukkan bahwa orientasi filsafat
Wittgenstein berubah dari usaha untuk membahas dan meneliti bahasa bermakna dan
tidak bermakna secara logis menjadi pemakaian bahasa dan maknanya.
Melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein
mengemukakan pendapat baru mengenai bahasa. Banyak orang mengakui betapa
sulitnya membaca karya keduanya tersebut, apalagi jika semata-mata hanya
mendasarkan pada deskripsi bahasa secara gramatikal. Akan tetapi, melalui karya
keduanya itulah, Wittgenstein dinobatkan sebagai perintis aliran Filsafat
Bahasa Biasa (Philosophy of Ordinary
Language), mengingat perhatiannya pada bahasa biasa sehari-hari dan melihat
penolakannya pada hubungan antara bahasa dan logika yang pada periode pertama
pemikirannya ia usung dalam Tractatus (Wibowo,
2011:23).
Kalangan akademisi Oxford
pasca Perang Dunia II kemudian dikenal sebagai pengikut setia aliran Filsafat
Bahasa Biasa, karena orientasi kajian filsafatnya adalah pada bahasa
sehari-hari. Kelompok ini menggunakan metode Wittgenstein untuk menyelidiki
macam-macam bahasa. Salah satu tokoh penting yang kemudian melanjutkan
pemikiran Wittgenstein adalah John Langshaw Austin yang sangat dikenal dengan
Linguistik Fenomenologinya dan teori-teorinya mengenai tindak tutur (speech acts).
V. Refleksi atas Pemikiran Wittgenstein Mengenai Makna
Seorang filsuf Yunani yang hidup sekitar abad ke 6
sebelum Masehi, yakni Herakleitos pernah menyatakan bahwa orang tidak mungkin
turun dua kali dalam arus yang sama, sebab air sungai itu terus berlalu,
bergiliran dan berganti-ganti. Demikian halnya dengan segala sesuatu yang tidak
akan tetap dan selalu berubah (Hadiwijono, 1980:21-22). Yang berubah tidak
hanya alam, namun juga pikiran manusia. Hal ini pula yang terjadi pada diri
Ludwig Wittgenstein dalam pembahasannya mengenai makna dalam bahasa. Ia yang
semula beraliran filsafat analitis dengan banyak merujuk pada atomisme logis
Bertrand Russel, secara mengejutkan meninggalkan aliran filsafat tersebut dan
merintis suatu aliran pemikiran yang sama sekali baru, yakni Filsafat Bahasa
Sehari-hari. Perkembangan ini dapat dianalisa dan direfleksikan sebagai, tidak
hanya perubahan, tetapi terlebih penyempurnaan usaha untuk mencari makna dari
makna.
a. Makna Dapat ‘Mendamaikan’ Bahasa Logika dan Bahasa
Sehari-hari
Pada periode pertama pemikirannya,
Wittgenstein menunjukkan bahwa untuk menghindari kerancuan berbahasa seperti
yang dilakukan oleh para filsuf pendahulunya, orang perlu menggunakan bahasa
yang logis. Untuk memberi makna atas suatu obyek, bahasa yang digunakan harus
mengikuti struktur yang berlaku dan dapat dimengerti oleh semua orang. Akan
tetapi, pendapat ini kemudian ia sanggah sendiri, dengan menyatakan bahwa
bahasa logika hanya mencerminkan bahasa tertentu. Ia merujuk pada kenyataan
bahwa bahasa logika akan cenderung mengungkapkan istilah-istilah yang sukar
dipahami, seperti entitas, eksistensi, esensi, realitas dan lain sebagainya.
Dalam menyatakan suatu makna, orang bisa saja menggunakan
bahasa sehari-hari yang lebih sederhana. Hanya saja, pemikiran ini perlu
dikritisi lebih lanjut apakah bahasa sehari-hari dapat menjangkau makna dari
semua proposisi yang hanya dapat dijangkau oleh bahasa logika. Dalam menanggapi
pertanyaan ini, pemaknaan bisa menjadi jalan untuk menciptakan semacam
‘rekonsiliasi’ atau pendamaian di antara bahasa logika dan bahasa sehari-hari.
Kenapa tidak dimunculkan bahasa sehari-hari yang logis dalam memberi makna
suatu obyek? Bahasa sehari-hari akan tetap bisa menjadi bahasa yang logis
selama mengikuti struktur yang ada. Dengan demikian makna yang diungkapkan
dalam bahasa tidak hanya terstruktur susunannya, namun bisa lebih dimengerti
oleh semua orang, karena kata-kata yang dipakai lebih akrab di telinga orang
kebanyakan. Sebagai contoh untuk kata ‘realitas’ bisa dipakai kata ‘kenyataan’,
untuk kata ‘eksistensi’ bisa dipakai kata ‘keberadaan’, untuk kata ‘esensi’
bisa dipakai kata ‘intisari’ dan masih banyak contoh lainnya. Pada akhirnya,
makna dari suatu obyek tidak hanya kemudian menjadi logis, tetapi juga lebih
dipahami secara lebih luas.
b. Makna Perlu Menyingkap Intisari Obyek
Perkembangan pemikiran Wittgenstein dari filsafat
analitis menuju filsafat bahasa sehari-hari melalui teori “language games” sejatinya telah menunjukkan suatu gagasan bahwa
makna tidak melulu menunjuk pada kenyataan yang dapat ditangkap oleh indera. “Language games” menekankan kegunaan dari
bahasa alih-alih hanya berkutat pada bermakna atau tidaknya suatu pernyataan
atau kalimat secara logis.
Dengan menekankan kegunaannya, maka bahasa diperluas
untuk tidak hanya menunjuk pada apa yang hadir, tetapi pada apa yang terkandung
pada suatu obyek, yang dimaksud di sini adalah intisari atau esensinya. Seperti
halnya permainan-permainan, yang menjadi intisari di dalamnya adalah
aturan-aturan yang menuntun permainan-permainan tersebut dapat berlangsung
seperti seharusnya atau seperti yang diinginkan oleh para pelakunya. Dalam
mengungkapkan makna ada aturan-aturan berbahasa yang perlu diikuti secara tepat.
Ini akan menuntun orang ke dalam intisari suatu obyek yang hendak dimaknai
dalam bahasa. Dari situ, makna lantas tidak hanya menunjuk keberadaan atau
kenyataan suatu obyek yang bisa ditangkap oleh indera, namun lebih jauh lagi
menyingkapkan intisari yang terkandung di dalamnya.
c. Makna Harus Mengungkapkan Kebenaran
Dengan aturan-aturan berbahasa yang tepat seperti yang
dimaksudkan oleh Wittgenstein dalam teori “language
games”, usaha untuk memberi makna atas suatu obyek tidak hanya akan
menyingkap intisari dari obyek itu sendiri, namun mestinya akan mengungkapkan
kebenaran dari obyek tersebut.
Dalam “Truth and
Meaning”, Donald Davidson menulis: “menyatakan suatu keadaan kebenaran
adalah cara untuk memberi makna suatu kalimat”. Apa yang hendak dimaksudkan
oleh Davidson di sini adalah untuk mengetahui makna suatu kalimat adalah dengan
terlebih dahulu mengenal kondisi-kondisi yang membuat kalimat itu menjadi benar
(Allan, 1986: 80). Ini hendak dimaksudkan bahwa kondisi atau syarat dalam
mengungkapkan kebenaran suatu obyek atau suatu pernyataan adalah dengan
menyingkapkan intisari yang terkandung di dalamnya. Untuk mendukung usaha ini,
maka situasi yang melingkupi obyek atau pernyataan tersebut tidak dapat
ditinggalkan begitu saja, agar usaha memberi makna lantas tidak menjadi
pincang.
Kita bisa saja menghubungkan makna dengan kebenaran dan
kebenaran dengan kalimat-kalimat; dan kalimat-kalimat selalu merujuk pada
bahasa. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini bahwa kita tidak akan
memahami apa-apa dari bahasa manusia jika kita tidak berusaha untuk memahami
tuturannya (Strawson dalam Martinich, 1996:114). Tuturan yang dimaksudkan di
sini, tentu saja tidak bisa dilepaskan begitu saja dari situasi dan kondisi
kesekitaran yang melingkupinya.
VI. Kesimpulan
Seluruh perkembangan
pemikiran Ludwig Wittgenstein, meski mengandung sekian pertentangan dalam
dirinya, telah mengarahkan kita pada suatu proses yang berkelanjutan untuk
memaknai makna. Wittgenstein harus melompat dari satu aliran ke aliran yang
lain, bahkan menciptakan aliran yang baru dalam filsafat bahasa untuk mencapai
titik di mana makna sebagai bagian dari berbahasa perlu dikaji terus menerus. Filsafat
makna Wittgenstein merupakan suatu contoh proses penyempurnaan dari gagasan
bahwa “meaning is picture” yang
menitikberatkan pada logika berbahasa menuju gagasan “meaning is use” yang menggarisbawahi pentingnya kegunaan berbahasa.
Proses tersebut dilalui dengan menghasilkan dua karya besarnya, dari Tractatus Logico-Philosophicus menuju Philosophical Investigations. Dari
keseluruhan proses panjang tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa makna
tidak hanya harus bersifat logis, namun perlu lebih berguna dan untuk itu pula,
perlu lebih ‘membumi’ dan meluas. Maka dari
itu, makna juga perlu memiliki di dalam dirinya kemampuan untuk menyingkapkan
intisari dari suatu obyek, sehingga dari situ makna juga akan mampu untuk
mengungkapkan kebenaran dari obyek tersebut.
Daftar Pustaka
Allan, Keith. 1986. Linguistic
Meaning (Volume One). London: Routledge and Kegan Paul.
Bertens, K. 2002. Filsafat
Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Hadiwijono, Harun, Dr. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mustansyir, Rizal, Drs. 1988. Filsafat Bahasa: Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya. Jakarta:
PT. Prima Karya.
Strawson, P.F. 1969. “Meaning and Truth” dalam Martinich,
A.P. (ed.). 1996. The Philosophy of
Language (Third Edition). Oxford: Oxford University Press.
Wibowo, Wahyu, Dr. 2011. Linguistik Fenomenologis John Langshaw Austin: Ketika Tuturan Berarti
Tindakan. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing.
Wittgenstein, Ludwig. 1922. Tractatus Logico-Philosophicus. London: Kegan Paul, Trench, Trubner
& Co., Ltd.
Wittgenstein, Ludwig. 1953. Philosophical Investigations (trans.: G.E.M. Anscombe). Oxford:
Basil Blackwell Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar