Pendahuluan
Sejarah Indonesia
sejatinya telah melahirkan sekian banyak orator ulung yang mampu menggerakkan
hati para pendengar mereka. Yang paling dapat kita kenang dan kagumi adalah
presiden pertama republik ini yakni Ir. Soekarno. Selain didukung oleh kharisma
seorang pemimpin besar, Soekarno memiliki kemampuan luar biasa untuk
menyampaikan ide dan gagasannya hingga mampu memberi pengaruh dan menggerakan
setiap orang yang menyimaknya. Meski tak lepas dari segala kontroversi,
Soekarno tetap diakui sebagai salah satu orator terbesar Indonesia yang pernah
hadir dalam sejarah negeri ini. Pertimbangan utamanya adalah bagaimana tindakan
dan perjuangan Soekarno bagi negeri ini sejalan dengan apa yang ia suarakan
dalam orasi dan pidatonya.
Pada masa sekarang, nyaris
tiada lagi pribadi dan orator yang memiliki kemampuan menggerakkan orang lain
melalui suaranya sekaliber Soekarno. Bangsa ini telah kehilangan figur yang
tindakannya sejalan dengan kata-katanya sendiri. Banyak orang telah menyatakan
diri sebagai pemimpin, namun mereka bahkan tak terlihat memimpin oleh karena
inkonsistensi antara kata-kata dan tindakan mereka. Dinding birokrasi telah
menunjukkan bagaimana mereka lebih paham untuk memerintah daripada memimpin.
Orasi dan pidato yang mereka sampaikan tidak lebih dari retorika kosong yang
hanya memberi sekian banyak harapan palsu, karena tidak diikuti dan dibarengi
oleh tindakan nyata.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa masyarakat negeri ini telah sekian banyak kali dikecewakan oleh
inkonsistensi antara tindak tutur (speech
acts) para pemimpin mereka. Amanat rakyat negeri ini hanya bisa dijawab
pada tingkat gagasan dan kata, padahal tindakan nyatalah yang paling
dinantikan. Kesenjangan seperti ini di mata beberapa elemen masyarakat terlihat
sengaja dibiarkan. Meski optimisme menyeruak dengan kehadiran Joko Widodo di
provinsi DKI Jakarta dengan tindak dan tuturnya yang cukup selaras, namun masih
banyak bukti nyata yang harus ia tunjukkan kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Maka dari itu, lewat
makalah ini, penulis hendak memaparkan bagaimana tindak tutur yang semestinya
ditunjukkan oleh para pemimpin negeri ini. Penulis merasa perlu untuk mengambil
contoh yang optimal, meski figur yang dipaparkan berasal dari negeri lain. Dengan
memberi judul “Belajar dari Tutur Sang Putra Menteng Dalam”, penulis hendak
memaparkan kekuatan tutur yang diikuti konsistensi tindakan yang telah
ditunjukkan oleh Presiden Amerika saat ini –yang selama empat tahun (1967-1970)
menghabiskan masa kecilnya di Menteng Dalam, Jakarta dan sedang menjalani masa
pemerintahan keduanya-, Barack Hussein Obama[1] (selanjutnya ditulis ‘Obama’
)
Salah satu pertimbangan
dipilihnya Obama dalam pembelajaran tindak tutur di makalah ini adalah
kenyataan bahwa ia adalah salah satu pemimpin dunia yang paling menonjol saat.
Lebih daripada itu, pidato dan orasinya telah menuai pujian dan pengakuan
banyak orang, tidak hanya di negeri asalnya sendiri, tetapi di juga belahan
dunia lain. Selain bahwa mampu ia menggerakkan sekian pendengarnya, Obama tidak
sekedar bertutur, namun di dalam tuturannya sudah terkandung tindakan yang
hendak ia jalankan. Maka yang menjadi permasalahan utama dalam makalah
Sosiolinguistik ini adalah sebagai berikut:
a.
Bagaimanakah pidato
Barack Obama bisa menggerakkan dan menggugah masyarakat yang menjadi
pendengarnya?
b.
Tindak tutur seperti
apakah yang ditampilkan oleh Barack Obama dalam pidato-pidatonya?
c.
Apa yang bisa
dipelajari oleh masyarakat Indonesia, terutama para pemimpinnya, dari tindak
tutur Barack Obama dalam pidato-pidatonya?
Sebagai
langkah pembahasan dalam makalah Sosiolinguistik ini, maka penulis telah
mengambil lima pidato Obama sebagai sampel. Kemudian sebagai alat analisanya
adalah Teori Tindak Tutur (Speech Acts)
yang dikemukakan oleh John Langshaw Austin (selanjutnya
ditulis ‘J.L. Austin’). Pertimbangan dipilihnya teori ini, dikarenakan
Austinlah yang secara filsafati dan dengan sistematis menganalisa dan
menjelaskan tindak tutur. Dengan demikian, skema pembahasan makalah ini adalah
sebagai berikut:
a.
Bab I: Teori Tindak
Tutur oleh J.L. Austin
Dalam bab
pertama ini, penulis akan memperkenalkan figur J.L. Austin, seorang filsuf
bahasa dari Universitas Oxford, beserta karya pemikirannya. Penulis akan
berfokus pada salah satu karya Austin, yakni buku How to do Things Words. Dalam buku inilah, Austin memaparkan secara
sistematis Teori Tindak Tuturnya.
b.
Bab II: Analisa
Tindak Tutur dalam Pidato Obama.
Selanjutnya,
dalam bab kedua makalah ini, penulis akan memaparkan tiga pidato Obama yang
telah dipilih dari berbagai tema. Masing-masing pidato tersebut kemudian akan
dianalisa dari segi tindak tuturnya sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh
J.L. Austin.
c.
Kesimpulan dan Saran
Sebagai penutup
dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hasil analisa pidato-pidato Obama
yang sekaligus akan menjadi kesimpulannya dan diharapkan dapat menjawab
permasalahan yang telah diajukan dalam bagian Pendahuluan. Dari situ, penulis
akan mengajukan saran-saran yang sekiranya dapat menjadi pembelajaran bersama
bagi penulis dan semua pihak yang menyimak makalah ini.
Bab I: Teori
Tindak Tutur oleh J.L. Austin
Awal abad 20 merupakan
masa-masa kelahiran Filsafat Bahasa yang dipandang sebagai aliran pemikiran
yang paling fenomenal dan dikategorikan sebagai logosentris, karena fokusnya
pada bahasa sebagai pusat wacana filsafat. Melalui prinsip bahwa suatu ungkapan
bahasa harus sesuai dengan pemakaian dan aturan tertentunya, Filsafat Bahasa
bahkan dianggap memiliki metode yang kritis dan netral, karena mampu
membersihkan bahasa para filsuf sebelumnya dari pemikiran yang
melingkar-lingkar dan tidak jelas dan tidak terlibat dengan realitas terutama
di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain hal ini, metode yang digunakan
Filsafat Bahasa juga dianggap sebagai metode yang khas dalam ilmu filsafat,
karena selain digunakan untuk mencari hakikat bahasa juga sekaligus dapat
dijadikan teori untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran
ungkapan-ungkapan bahasa (Wibowo, 2011:4)
Dari segelintir figur
filsuf Filsafat Bahasa, dua di antaranya dapat disebutkan telah memberi
pengaruh yang besar dalam perkembangan pemikiran Filsafat Bahasa: Ludwig
Wittgenstein dan J.L. Austin. Wittgenstein merupakan peletak dasar Filsafat
Bahasa modern, sedangkan J.L. Austin, murid Wittgenstein, adalah penerusnya.
Makalah ini akan berfokus pada J.L. Austin, karena pemikirannya mengenai tindak
tutur akan menjadi alat analisa pidato Obama dalam bab selanjutnya.
a. Hidup dan Karya J.L. Austin
J.L. Austin lahir pada
tanggal 26 Maret 1911 di Lancaster, Inggris. Ia belajar filologi klasik serta
filsafat di Oxford dan menjadi profesor di sana. Pada masa Perang Dunia II, ia
bertugas sebagai tentara pada British
Intelligence Corps dan mencapai pangkat letnan-kolonel. Meski ia sendiri
menerbitkan sangat sedikit beberapa paper-nya
yang ia bawakan pada pertemuan-pertemuan ilmiah, namun dengan kuliah-kuliahnya
dan diskusi-diskusi berkala, ia memberi pengaruh besar dalam kalangan filsuf
bahasa di Oxford. Di antara para filsuf di Inggris, mungkin tidak ada orang
yang begitu bersemangat menyelidiki bahasa pergaulan yang biasa seperti J.L. Austin.
Ia yakin bahwa orang dapat belajar banyak dengan memperhatikan bahasa orang
lain. Dalam bahasa, terdapat banyak sekali distingsi dan nuansa halus, yang
diperkembangkan selama banyak generasi oleh masyarakat pengguna bahasa dalam
usaha untuk mengungkapkan pemikiran mereka. Dari pada itu, J.L. Austin selalu
menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret
di mana ucapan-ucapan tersebut dan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan
dengannya. Pertanyaan yang sering diketengahkan oleh J.L. Austin adalah what to say when, di mana unsur bahasa (what) dianggap sama penting dengan dunia
fenomena (when). (Bertens,
2002:60-61)
Karya-karya besar J.L.
Austin (yang diterbitkan setelah meninggalnya di tahun 1960 oleh J.O. Urmson
dan G.J. Warnock) adalah sebagai berikut:
-
Philosophical Papers (1961): kumpulan sejumlah makalah yang pernah dibawakan oleh J.L. Austin
dalam pelbagai kesempatan,
-
Sense and Sensibilia (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang pernah ia bawakan di Universitas
Oxford,
-
How to Do Things with Words (1962): bahan kuliah J.L. Austin yang ia bawakan di
Universitas Harvard, Amerika Serikat, pada tahun 1955.
b. Teori Tindak Tutur (Speech Acts)
Dalam karyanya How to Do Things with Words-lah, J.L.
Austin sendiri berusaha untuk memperincikan teori tindak tutur (speech acts) yaitu tindakan bahasa yang
berperan ketika seseorang mengucapkan suatu kalimat atau ucapan. Teori tindak
tutur, yang dilandasi oleh pemikiran mentornya, Wittgenstein, tersebut dibangun
oleh Austin melalui tesis “dalam mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan
sesuatu pula”. Pada prinsipnya tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan
tindakan adalah sama. Tiap pernyataan yang dituturkan mencerminkan tindakan si
penuturnya itu. Dalam ungkapan lain, tindak tutur tidak hanya mengungkapkan
gaya bicara si penutur, tetapi juga merefleksikan tanggung jawab si penutur
terhadap isi tuturannya, mengingat isi tuturannya itu mengandung maksud-maksud
tertentu dalam mempengaruh pendengarnya. J.L. Austin membagi tindak tutur ke
dalam tiga jenis, yakni (1) tindak lokusi (locutionary
acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary
acts) dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary
acts). (Wibowo, 2011:36-37)
Berikut ini adalah
uraiannya:
1) Tindak lokusi, yaitu tindak tutur si penutur dalam
menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur
itu untuk melaksanakan isi tuturannya. Austin menggolongkan tindak lokusi ke
dalam tiga sub-jenis:
-
Tindak fonetis (phonetic acts), yakni tindak mengucapkan
bunyi tertentu.
-
Tindak fatis (phatic acts), yakni tindak tutur
mengucapkan kosakata tertentu yang membentuk suatu gramatika tertentu yang
dikenal pula sebagai kalimat langsung.
-
Tindak retis (rhetic acts), yakni tindak tutur dengan
tujuan melaporkan apa yang dituturkan si penutur, yang juga disebut sebagai
kalimat tak langsung.
2) Tindak ilokusi, yakni tindak tutur si penutur yang hendak
menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si
penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya. Dengan kata lain,
dalam tuturan tersebut terkandung suatu kekuatan yang mewajibkan si penutur
melaksanakan apa yang dituturkannya. J.L. Austin membagi tindak ilokusi ke
dalam lima sub-jenis:
-
Verdiktif (verdictives
acts), yakni tindak tutur yang
ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah, namun
keputusan tersebut bukan keputusan yang bersifat final.
-
Eksersitif (exercitives acts), yakni tindak tutur
yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh.
-
Komisif (commissives acts), yakni tindak tutur
yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur
melakukan sesuatu.
-
Behabitif (behabitives acts), yakni tindak tutur
yang mencerminkan kepedulian sosial yang bertalian dengan rasa simpati, saling
memaafkan atau saling mendukung.
-
Ekspositif (expositives acts), yakni tindak tutur
yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi yang berasal dari
referensi tertentu.
3) Tindak perlokusi, yakni efek tindak tutur si penutur bagi
pendengarnya. Dalam penegasan lain, bila tindak lokusi dan tindak ilokusi lebih
menekankan pada peranan tindakan si penutur, pada tindak perlokusi yang
ditekankan adalah bagaimana respons pendengarnya. Hal ini, menurut J.L. Austin,
berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan.
Melalui
tindak tutur, J.L. Austin memang hendak menegaskan bahwa suatu analisis
terhadap ungkapan bahasa jangan hanya membatasi diri pada makna ujaran saja,
tetapi juga harus meneliti akibat yang dapat ditimbulkan oleh ujaran itu. Dalam
kaitan ini, Austin mengingatkan bahwa diperlukan suatu ‘kewaspadaan’ dalam
mendengar atau membaca suatu ungkapan bahasa, sekalipun ungkapan tersebut telah
bersubyek dan berpredikat. Hal ini agaknya amat ditekankan oleh Austin,
mengingat di dalam tiap-tiap bahasa tersirat suatu orientasi hidup dari si
pengguna bahasa.
Dalam hubungannya dengan pidato Obama, penulis
hendak mengenakan teori ini sebagai alat untuk menganalisa bagaimana ungkapan
atau ujaran bahasa dapat mempengaruhi dan bahkan menggerakkan para
pendengarnya. Analisa dan pembahasannya hendak dikemukakan dalam bab
selanjutnya. (Wibowo, 2011:43-44)
Bab II: Analisa
Tindak Tutur dalam Pidato Obama
Bersikap sopan secara
linguistik kerap menjadi masalah dalam memilih bentuk-bentuk linguistik yang
menunjukkan tingkat sosial dan memperkenalkan perbedaan status antara penutur
dan pendengarnya. Tuturan yang berbeda menunjukkan fungsi yang berbeda pula dan
mengungkapkan fungsi-fungsi tertentu dari penutur secara lain. (Holmes,
1995:285)
Obama, melalui
pidato-pidatonya, hendak menunjukkan fungsi dan statusnya sebagai presiden
Amerika Serikat. Maka dari itulah, ia pun berusaha memberi pengaruh kepada para
pendengarnya melalui tindak tutur yang tepat dalam pidato yang ia susun bersama
timnya. Dalam wawancaranya dengan Dean Thomas, seorang wartawan Newsweek, Obama menegaskan bahwa
“...saya ingin mengalokasikan banyak waktu, .... untuk berpikir mengenai
isu-isu, karena saya tidak ingin hanya memaparkan angka-angka ketika menyangkut
sisi kebijakan. Saya ingin berbincang-bincang dengan para pakar dan
orang-orang...” (Thomas, 2009:240).
Dari pernyataannya
tersebut, jelaslah bahwa tindak tutur Obama tidak hanya berasal dari gagasannya
sendiri, namun merupakan buah dari diskusinya dengan pihak-pihak yang terkait,
baik yang berada di dalam maupun luar pemerintahannya. Ini adalah wujud
tanggung jawab dari Obama terhadap tuturannya sendiri yang tertuang dalam
pidato-pidatonya. Dari sinilah tindak tutur Obama dipandang mampu menggerakkan
dan menggugah orang-orang yang mendengarkannya.
Melalui analisa yang
didasari oleh Teori Tindak Tutur oleh J.L. Austin berikut ini, penulis hendak
menunjukkan bagaimana variasi tindak tutur Obama dari beberapa
tuturan-tuturannya yang terdapat dalam transkripsi ketiga pidatonya berikut ini:
a.
Pidato Obama pada pelantikannya sebagai Presiden Amerika
Serikat ke 44 di Capitol Hill, Washington DC, tanggal 20 Januari 2009.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang pada pemilihan umum
Presiden AS tahun 2008, pada tanggal 4 November, Obama pun dilantik dua bulan
setelahnya. Di hadapan kurang lebih 10.000 orang tamu undangan, Obama mengambil
sumpah jabatan kemudian ia menyampaikan pidatonya pelantikannya. Pidato ini ia
bawakan dalam durasi 17 menit 34 detik. Selama durasi tersebut, Obama
memperoleh 12 kali tepuk tangan dari para tamu undangan. Berikut ini adalah
analisanya:
Tindak Tutur
|
Tuturan
|
Eksersitif
|
“Today I
say to you that the challenges we face are real.”
“Hari ini saya menyatakan kepada anda bahwa tantangan yang kita
hadapi nyata.” (paragraf 7)
|
Behabitif
|
“To the
Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual
respect.”
“Bagi dunia Muslim, kita mencari suatu jalan baru ke depan
berdasarkan kepentingan bersama dan saling menghormati.” (paragraf 22)
|
Komisif
|
“To the
people of poor nations, we pledge to work alongside you...”
“Bagi warga negara-negara miskin, kami berjanji untuk bekerja
bersama anda...” (paragraf 24)
|
Expositif
|
"Let
it be told to the future world...that in the depth of winter, when nothing
but hope and virtue could survive...”
“Biarkan tersampaikan kepada dunia di masa depan...bahwa dalam
kedalaman musim dingin, ketika tak satupun ada, kecuali harapan dan keutamaan
yang bertahan...” (paragraf 32)
Kata-kata ini, Obama kutip dari Thomas Paine (1737-1809). Ia adalah
salah satu pendiri negara Amerika Serikat.
|
b. Pidato Obama
pada kunjungannya ke Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 10 November 2009.
Sebagai rangkaian lawatan kenegaraannya ke Indonesia,
salah satu agenda Obama adalah berpidato di hadapan masyarakat Indonesia,
terutama para akademisi, dosen dan para mahasiswa di Universitas Indonesia. Isi
pidatonya ini diawali dengan nostalgia masa kecil Obama, terutama saat tinggal
di Menteng Dalam, Jakarta, yang mendapat banyak sambutan meriah dari para
pendengarnya. Tercatat, dalam pidatonya yang berlangsung 31 menit 18 detik ini,
Obama mendapat 26 kali applause dari
para audiens. Walau begitu, sebagai fokus pidato ini, secara garis besar Obama
mengutarakan garis besar situasi dan harapan dalam kerjasama antara Indonesia
dan Amerika Serikat. Berikut ini adalah analisanya:
Tindak Tutur
|
Tuturan
|
Behabitif
|
“...I want
to say that our thoughts and prayers are
with all of those Indonesians who are affected by the recent tsunami and the
volcanic eruption...”
“Saya ingin menyampaikan bahwa pikiran dan doa kami bersama
dengan semua dari masyarakat Indonesia yang terkena tsunami dan letusan
gunung berapi...” (paragraf 3)
|
Eksersitif
|
“I will
focus on three areas that are
closely related, and fundamental to human progress -- development, democracy
and religious faith.”
“Saya akan berfokus pada tiga wilayah yang saling berhubungan
dekat dan mendasar bagi kemajuan manusia – pembangunan, demokrasi dan kaum
beriman” (paragraf 15)
“We want
to forge new ties and greater
understanding between young people in this young century.”
“Kami ingin membina hubungan baru dan pengertian yang lebih
besar antara orang-orang muda di abad yang muda ini.” (paragraf 20)
“...I
called for a new beginning between the
United States and Muslims around the world...”
“...saya mengumandangkan suatu awal baru antara Amerika Serikat
dan kaum Muslim di seluruh dunia...” (paragraf 32)
|
Verdiktif
|
“And
that’s why we condemned elections in Burma recently that were neither
free nor fair.”
“Dan itulah mengapa kami mengutuk pemilihan umum di Burma
baru-baru ini yang tidak bebas dan tidak adil.” (paragraf 29)
|
c.
Pidato Obama pada Hari Veteran Amerika Serikat di Taman
Makam Pahlawan Arlington, tanggal 11 November 2012.
Telah menjadi tradisi di Amerika Serikat, bahwa pada hari
kesebelas dari bulan kesebelas setiap tahunnya, diadakan penghormatan bagi para
veteran tentara Amerika Serikat mulai dari Perang Dunia I hingga aksi militer
di Afganistan. Dalam kesempatan ini pula, Obama menyampaikan pidatonya di
hadapan para veteran, yang pada intinya, Obama hendak menegaskan komitmen
negara kepada para mantan pejuang ini terutama setelah mereka kembali dari
medan perang. Salah satu bukti nyata adalah kisah Taylor Morris, seorang
pejinak bom yang kehilangan kedua kaki dan kedua tangannya, lalu ia dirawat dan
diurus sepenuhnya oleh negara. Obama menyampaikan kepada audiensnya bagaimana
ia, sebagai presiden, tidak melepaskan tanggung jawabnya terhadap para veteran
yang pulang dari medan perang, terutama mereka yang mengalami cacat pasca
perang. Berikut analisa pidatonya ini:
Tindak Tutur
|
Tuturan
|
Komisif
|
“For
that, we must do more. For that, we must commit –- this day and
every day to serving you as well as you’ve served us.”
“Untuk
itu, kami harus melakukan lebih. Untuk itu, kami berkomitmen hari ini
dan setiap hari untuk melayani anda seperti halnya anda telah melayani kami.”
(paragraf 8)
“...we are
making sure that the Post-9/11 GI Bill stays strong so you can earn a college
education and pursue your dreams...”
“...kami meyakinkan (anda) bahwa Undang-undang GI Pasca 11 September
tetap kuat sehingga anda bisa memperoleh pendidikan tinggi dan mengejar
mimpi-mimpi anda...” (paragraf 15)
|
Kesimpulan dan
Saran
Melalui analisa atas
pidato Obama dengan Teori Tindak Tutur dari J.L.Austin, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Obama sangat fasih dalam memilih tindak tutur yang tepat
dan cocok sesuai dengan tema dan kondisi kesekitarannya ketika berpidato. Ia
tahu benar bagaimana memanfaatkan statusnya sebagai seorang presiden dengan
mengaplikasikan secara tepat tindak tutur eksersitif, sehingga pendengarnya
menyadari bahwa ia adalah seorang kepala negara dan pemerintahan. Tidak hanya
dalam lingkup dalam negerinya sendiri, tetapi juga ketika berhadapan dengan
masyarakat dari negara lainnya.
b. Sebagai seorang pemimpin, Obama juga sadar ia harus
‘berjanji’ kepada para pendengarnya. Namun, janji yang ia ucapkan bukanlah
janji yang sulit akan ia penuhi, sehingga para pendengarnya tergerak dan
mengakui bahwa Obama akan mampu memenenuhi janji tersebut. Janji yang telah
dipikirkan masak-masak dan pastinya merupakan hasil dari diskusinya dengan pihak-pihak
yang berkompeten diyakini lebih mudah untuk dilaksanakan. Inilah tindak tutur
komisif yang tepat, setelah mengucapkan janjinya tersebut, sebagai penuturnya,
Obama dipastikan akan bisa melaksanakannya.
c. Banyaknya tepuk tangan sebagai sambutan meriah dari para
pendengarnya hendak menunjukkan tidak hanya kharisma, tetapi bagaimana isi dari
pidato Obama berhasil menyentuh sanubari dan menggerakkan jiwa para
pendengarnya. Ia tidak hanya berbicara dalam statusnya sebagai presiden, tetapi
juga sebagai teman yang mampu mengungkapkan rasa hormat dan bahkan dukacita. Ini
adalah wujud yang sangat baik dari tindak perlokusi. Dengan demikian, respon
dari pendengar atau mitra tutur dapat dijadikan ukuran apakah suatu ujaran,
bahkan dari seorang pemimpin sekaliber Obama, memiliki makna atau hanya sekedar
retorika kosong.
Berdasarkan
kesimpulan yang dapat ditarik dari analisa terhadap pidato-pidato Obama, saran
yang dapat diajukan oleh penulis sebagai bentuk pembelajaran bersama, baik bagi
penulis sendiri maupun para pembaca makalah ini, adalah sebagai berikut:
a.
Dalam menuturkan
suatu bahasa, seorang penutur hendaknya menyadari terlebih dahulu status dan
posisinya di tengah masyarakat. Hal ini tidak hanya menyangkut kesopanan tetapi
terlebih demi kualitas tindak tuturnya tersebut. Para pemimpin negeri ini
sangat disarankan untuk memperhatikan tutur bahasanya selaras dengan status dan
jabatannya sehingga para pendengarnya dapat menerima dan mengakui apa yang ia
tuturkan tersebut.
b.
Sangatlah penting
untuk berdiskusi dengan orang lain sebelum menyampaikan tuturan yang mengandung
janji. Untuk menghindari janji menjadi sekedar tinggal janji, maka penutur
harus menyadari di mana keterbatasannya dan kapan ia harus bertukar pikiran
dengan pihak-pihak yang lebih tahu atau menyerap lebih banyak referensi demi
menambah pengetahuannya. Dengan demikian, setelah menuturkan janji di hadapan
pendengarnya, si penutur tahu benar bahwa ia akan bisa memenuhi janji tersebut.
c.
Banyaknya pemimpin
negeri ini yang lebih mengandalkan dan mengedepankan kharisma dan pencitraan
kerap menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri. Kualitas tuturan sering mereka
tinggalkan sehingga mereka sering tidak mendapat respon yang antusias dan
sejati dari masyarakat. Tepuk tangan atau sambutan meriah lebih kerap menjadi
formalitas dan bukan wujud ketergerakan dari para pendengar mereka. Untuk
itulah sangat disarankan agar dalam menuturkan suatu ungkapan bahasa yang perlu
diperhatikan adalah kualitas tindak tutur yang sudah direfleksikan dengan
kondisi kesekitaran dan realitas yang ada; dan bukan hanya berporos pada figur
atau ideologi pemikir si penutur itu sendiri.
“Die Grenze meiner Sprache, die Grenze meiner Welt”
(“Batas bahasaku
adalah batas duniaku”)
-Ludwig
Wittgenstein-
Referensi
a.
Sumber dari Internet
-
Transkripsi dan Video Pidato Obama pada
pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat ke 44 di Capitol Hill,
Washington DC, tanggal 20 Januari 2009
-
Transkripsi dan Video
Pidato Obama pada kunjungannya ke Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 10
November 2009
-
Transkripsi dan Video
Pidato Obama pada Hari Veteran Amerika Serikat di Taman Makam Pahlawan
Arlington, tanggal 11 November 2012
-
Tentang Presiden
Barack Obama
b.
Sumber Kepustakaan
Bertens, K. 2002. Filsafat
Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Holmes, Janet. 1995. An
Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman Publishing.
Thomas, Evan. 2009. “A
Long Time Coming”: Kampanye Inspiratif dan Sengit di Tahun 2008 serta
Kemenangan Obama yang Bersejarah (terj.: Hendro Prasetyo). Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo, Wahyu, Dr. 2011. Linguistik Fenomenologis John Langshaw Austin: Ketika Tuturan Berarti
Tindakan. Jakarta: Bidik-Phronesis
Publishing.
[1] Barack H.
Obama adalah Presiden ke 44 Amerika Serikat. Ia terpilih sebagai presiden dari
Partai Demokrat, setelah dalam pemilihan umum yang ketat di tahun 2008, ia
mengalahkan John McCain dari Partai Republik. Pada tanggal 20 Januari 2009 ia
disumpah sebagai presiden Afro-Amerika pertama. Ayahnya berasal dari Kenya,
sedangkan ibunya dari Kansas. Ia belajar hukum di Universitas Harvard kemudian
melanjutkannya di Universitas Chicago dan kemudian mengajar di sana. Dari
pernikahannya dengan Michelle, Obama memiliki dua orang putri, Malia dan Sasha
(http://www.whitehouse.gov/administration/president-obama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar