Pendahuluan
Dalam dunia kebahasaan,
ada sekian banyak gaya yang bisa ditampilkan. Salah satunya adalah metafora.
Metafora dapat dipandang sebagai bentuk kreativitas penggunaan bahasa. Jadi,
yang kreatif adalah penggunanya. Pada dasarnya, metafora diciptakan berdasarkan
persamaan (similarity) antara dua
satuan atau antara dua term. Persamaan
itu sifatnya tidak menyeluruh, melainkan hanya dalam sebagian aspeknya saja.
Persamaan itu dapat berkaitan dengan wujud fisiknya atau dalam hal sebagian
sifatnya atau karakternya atau bahkan berdasarkan persepsi seseorang. (Subroto, 2011:115-116).
Kreativitas penggunaan
bahasa yang dihadirkan dalam rupa metafora, selain hadir dalam percakapan
sehari-hari, kerap kali juga dimunculkan dalam karya sastra dan karya seni,
salah satunya dalam film. Metafora yang dihadirkan dalam film dapat dimaksudkan
sebagai alat atau sarana untuk mengusung suatu nilai atau ideologi tertentu. Sutradara
atau penulis skenario film biasanya akan menempatkan metafora tersebut dalam
dialog atau adegan-adegan tertentu. Dialog atau adegan-adegan tersebut akan
mewakili nilai atau ideologi yang hendak diangkat dalam keseluruhan film
tersebut.
Salah satu film Hollywood
yang memuat metafora atas nilai atau ideologi tertentu adalah sebuah film karya
Ridley Scott yang berjudul “Prometheus”. Beberapa pengamat atau kritikus film
menganggap beberapa adegan dan dialog dalam film ini menjadi metafora dari
gagasan mengenai “pro-choice”. Bahkan
keseluruhan film ini merupakan metafora dari “pro-choice” itu sendiri (Kearns, 2012:1).
“Pro-Choice” itu sendiri merupakan gerakan dan konsep yang meyakini
bahwa tiap individu memiliki otonomi tak terbatas dengan penuh penghargaan atas
sistem reproduksi mereka sendiri selama tidak mengusik otonomi (orang) yang
lain (Head, 2012:1). Salah satu ‘produk’ andalan gerakan ini adalah kebebasan
bagi kaum perempuan untuk melakukan aborsi. Gerakan atau pandangan dari “pro-choice” ini biasanya dipertentangkan dengan gerakan “pro-life”, yang meyakini bahwa semua hak hidup wajib dilindungi
oleh semua pihak, terutama oleh pemerintah. Sehingga, berkaitan dengan aborsi, gerakan
“pro-life” mengajukan zero tolerance atau sama sekali tidak
menyetujuinya.
Makalah ini akan membahas dan menganalisa metafora “pro-choice” dalam film Promotheus. Bahasannya akan diruntut dari pengertian
dan jenis-jenis metafora dan dilanjutkan dengan konsep dan gerakan “pro-choice” dan pertentangannya dengan
konsep dan gerakan “pro-life”. Kemudian, metafora “pro-choice” dalam film Prometheus akan dianalisa dari dialog-dialog
yang dipilih dari film tersebut. Diharapkan bahasan dalam makalah ini akan
memperkaya khasanah berpikir dari semua orang menyimaknya tentang bagaimana
kreativitas berbahasa, terutama metafora, dapat diterapkan dalam media film.
Bab I: Metafora
Bagian pertama paper ini
akan membahas metafora secara teoretis. Selain dijelaskan definisi-definisi
metafora, akan disebutkan pula di sini jenis-jenisnya. Pembahasan mengenai
metafora ini akan berguna dalam menganalisa metafora dalam film ‘Prometheus’.
I.1. Definisi Metafora
Secara etimologi, metafora berasal dari bahasa Yunani, metaphero (μεταφέρω) yang
berarti “membawa lebih”, “memindahkan” dan berasal dari dua gabungan kata
Yunani: meta (μετά) yang
berarti “di antara” dan phero (φέρω) yang
berarti “membawa”. Dari etimologinya tersebut, metafora dapat diartikan
“pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan
kias atau persamaan.” Sebagai suatu pengabstrakan, metafora dapat berupa
“pemakaian kata atau bentuk lain yang bersangkutan dengan obyek konkret untuk
obyek atau konsep abstrak” (Kridalaksana, 2009:152-153)
Beberapa pakar bahasa juga
mengemukakan pengertian metafora mereka sendiri. Stephen Ullman menyatakan
bahwa metafora adalah suatu perbandingan antara dua hal yang bersifat menyatu
(luluh) atau perbandingan yang bersifat langsung karena kemiripan atau kesamaan
yang bersifat konkret atau nyata atau bersifat intuitif atau perseptual. Karena
perbandingan itu bersifat menyatu atau luluh, maka tidak dinyatakan dengan
kata-kata yang mengungkapkan perbandingan, contohnya: seperti, bak, laksana,
bagaikan. Geoffrey Leech menyatakan bahwa metafora dipandang sebagai sebuah
“transfer makna atau perpindahan makna”. Begitu pula pakar bahasa yang lain,
seperti George Lakoff dan Mark Johnson menyatakan bahwa “esensi metafora adalah
pemahaman dan pengalaman akan sesuatu yang dipadankan dengan sesuatu yang
lain.” (Subroto, 2011:120-121)
I.2. Jenis-jenis Metafora
Beberapa pakar bahasa
menganggap metafora sebagai “ratunya” majas, karena bisa dilhat dari proses
pembentukannya. Banyak jenis majas lainnya yang dapat dikelompokkan ke dalam
jenis majas ini. Salah satu dari pakar bahasa yang membagi jenis-jenis metafora
adalah Kerbrat Orrecchioni (Kusuma, dkk. 2011:173-174), yang melihat bentuknya,
mengajukan dua macam metafora, yaitu:
a. Metafora in
praesentia
Metafora ini bersifat eksplisit. Sebagai contoh, “Tono
memang buaya darat” (biasa disebut asimilasi). Di sini kedua unsur yang
dibandingkan muncul, jadi tidak bersifat implisit. Apabila kita bandingan aspek
makna majas simile dengan metafora asimilasi, akan tampak perbedaan. Kita lihat
contoh berikut ini:
1)
“Tono seperti buaya
darat” (simile),
2)
“Tono memang buaya
darat” (asimilasi)
Kalimat pertama menyatakan bahwa sebagian sifat Tono
mirip sifat buaya darat. Sementara itu, bila tak ada kata pembanding (digunakan
metafora asimilasi), maka si pengujar menyatakan bahwa secara keseluruhan, Tono
memang buaya darat.
b. Metafora in
absentia
Metafora ini dibentuk berdasarkan penyimpangan makna. Seperti juga pada
simile, dalam metafora terdapat dua kata (atau bentuk lain) yang maknanya
dibandingkan. Namun, salah satu unsur bahasa yang dibandingkan, tidak muncul,
bersifat implisit. Sifat implisit ini menyebabkan adanya perubahan acuan dan
penyimpangan makna, sehingga menimbulkan masalah kolokasi, yaitu kesesuaian
makna dari dua atau beberapa satuan linguistik yang hadir secara berurutan
dalam ujaran yang sama. Hal ini yang mungkin menjadi masalah dalam pemahaman
metafora. Contoh: “Banyak pemuda yang ingin mempersunting mawar desa itu”. Dalam contoh tersebut, ada dua wilayah makna,
yaitu wilayah makna kata “gadis” yang tidak hadir (in absentia) dan wilayah makna kata “mawar”. Sebagian wilayah makna
“mawar” dan “gadis” sama, yaitu indah,
cantik, segar, harum. Meskipun wilayah makna kedua kata itu akhirnya
menyatu, makna pertama (“gadis”) tidak menghilang, melainkan ada di latar
belakang makna kata kedua (“mawar”).
Bab II: “Pro-Choice”
Untuk dapat menganalisa
metafora “pro-choice” dalam film
Prometheus, maka perlu terlebih dahulu dipahami apa itu “pro-choice”. Bagian ini akan menjelaskan sejarah dan konsep “pro-choice”, terutama dalam kaitannya
dengan praktek aborsi, dan
pertentangannya dengan konsep “pro-life”.
I.1. Sejarah dan
Konsep “Pro-Choice”: Aborsi
Seperti yang telah
dikemukakan di bagian pendahuluan, konsep “pro-choice”
dan gerakannya sangat mengedepankan otonomi penuh tiap pribadi atas
tubuhnya sendiri. Dalam kaitannya dengan dunia feminisme, konsep dan gerakan “pro-choice” selalu dikaitkan dengan
kebebasan kaum perempuan untuk melakukan aborsi. “Pro-choice”
menyetujui legalisasi aborsi atas permintaan, mereka menamakan dirinya sebagai
pro-pilihan. Kelompok ini setuju pada pilihan dan cenderung percaya bahwa fetus
bukan makhluk manusiawi, atau dia (jika makhluk manusia) tidak mempunyai hak
dan kepentingan dan tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah atau pun
bersalah. Bahkan mereka mengatakan bahwa reproduksi manusia merupakan masalah
yang sangat serius, pada umumnya berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan
prokreatif bersifat mutlak dan harus tidak dihalangi (Amalia, 2010:3)
Konsep “pro-choice” seperti ini sendiri baru
muncul di ranah publik dan hukum, tepatnya di Amerika Serikat ketika pada
tanggal 22 Januari 1973, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa hak
untuk melakukan aborsi tidak hanya terbatas pada tiga bulan pertama, tetapi
pada sepanjang masa kehamilan. Kasus ini dimulai dari tuntutan Norma McCorvey
melawan hukum Texas tahun 1854 yang melarang aborsi kecuali “untuk tujuan
menyelamatkan hidup sang ibu”. McCorvey menuntut hak penuh untuk melakukan
aborsi dan mengklaim bahwa hukum Texas tersebut telah merenggut hak-hak
konstitusionalnya. Tujuh dari anggota Mahkamah Agung kemudian menyetujui
tuntutan McCorvey. Sembari mengakui bahwa hak aborsi tidak tertulis dalam
undang-undang, mereka menyatakan bahwa hak aborsi adalah bagian dari “hak untuk
memperoleh privasi”. Mereka juga menyatakan bahwa kata “orang” atau “pribadi”
dalam undang-undang tidak mengindikasikan janin. Dengan cara ini, pihak
Mahkamah Agung Amerika Serikat menciptakan suatu hak untuk menggugurkan bayi
setiap saat, bahkan demi alasan-alasan “emosional”. Hal ini kemudian sejurus
dengan penelitian dari Institut Guttmacher yang mana dalam 25 tahun terakhir,
hanya 7% dari wanita di dunia melakukan aborsi karena masalah kesehatan atau
masalah kesehatan yang mungkin dialami bayi, sedangkan tidak sampai setengah
persen melakukan aborsi karena hasil dari perkosaan. Di sinilah posisi dilematis
konsep dan gerakan “pro-choice”,
tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di belahan dunia lainnya. Gerakan “pro-choice” modern berupaya melindungi
gambaran aborsi sebagai praktek yang positif dan pro-perempuan. Meski
mendapatkan dukungan undang-undang, konsep dan gerakan ini tetap saja ditentang
dari berbagai penjuru, tak terkecuali dari para perempuan sendiri yang
mendukung “pro-life”. (Ruse dan
Schwarzwalder, 2011:3-5)
Di Indonesia, dilema yang dihadapi gerakan “pro-choice” agak lebih berbeda. Hukum di Indonesia belum memberikan ruang bagi tindakan
aborsi yang aman. Menurut Maria Ulfah, undang-undang menutup sama sekali
praktik aborsi dengan alasan apapun. Dalam UU Kesehatan juga terlihat sekali
bahwa klausul tentang aborsi sangat bias jender. Di situ diterangkan, dokter
bisa mengambil tindakan tertentu untuk menyelamatkan ibu dan janinnya. Padahal
klausul ini menyangkut dua hal yang tidak mungkin dilakukan dalam konteks
aborsi, dengan alasan menyelamatkan nyawa kedua-duanya karena dalam aborsi ada
yang dikorbankan. Beberapa orang melakukan aborsi dengan alasan yang beragam,
antara lain: malu pada keluarga dan masyarakat karena hamil, masalah keuangan,
faktor genetika, kesehatan mental, terlalu muda atau terlalu tua untuk hamil,
masih menempuh pendidikan, memiliki alasan pribadi untuk tidak memiliki anak,
alasan kesehatan, memiliki masalah hubungan dengan pasangan atau karena
diperkosa dan inses. Aborsi juga dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Ada
yang melakukannya sendiri, datang ke klinik atau rumah sakit, dengan
obat-obatan, ramuan bahkan pijat. Hasil penelitian kepada para pelaku aborsi
juga menunjukkan reaksi mereka berbeda. Hasilnya menyatakan bahwa setelah
aborsi mereka merasa takut, marah, malu, nyaman, percaya diri, bingung, kecewa,
sedih, bersalah, terjebak, bodoh hingga tidak bisa merasakan apa-apa. (Amalia,
2010:4-6)
I.2. “Pro-Choice”
versus “Pro-Life”
Konsep dan gerakan “pro-choice” selalu diperhadapkan dan
dipertentangkan dengan konsep dan gerakan “pro-life”.
Secara pokok, gerakan “pro-life” dan
“pro-choice” bertemu dalam konflik
mengenai aborsi. “Pro-choice”
menyetujui legalisasi aborsi atas permintaan, mereka menamakan dirinya sebagai
pro-pilihan. Kelompok ini setuju pada pilihan dan cenderung percaya bahwa fetus
(janin) bukan makhluk manusiawi, atau dia (jika makhluk manusia) tidak
mempunyai hak dan kepentingan dan tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah
atau pun bersalah. Bahkan mereka mengatakan bahwa reproduksi manusia merupakan
masalah yang sangat serius, pada umumnya berpandangan bahwa hak wanita akan
kebebasan prokreatif bersifat mutlak dan harus tidak dihalangi. Sementara
kelompok “pro-life” anti dan
menentang aborsi. Kelompok ini memandang bahwa fetus manusia merupakan makhluk
yang tidak bersalah dan tidak boleh dibunuh dalam situasi apa pun. Bagi mereka,
fetus memiliki hak atas kehidupan yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun,
sama seperti membunuh orang yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan, karena
ia berhak atas kehidupan. Kelompok “pro-life”
berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif tidak mutlak. Maka
aborsi dalam lingkup tertentu boleh jadi kurang jahat dibanding kejahatan
lainnya. Akan tetapi tidak ada kejahatan, betapa pun kurang, yang secara moral
netral. (Amalia, 2010:3).
Konflik konseptual dan
praktikal antara gerakan “pro-choice” dan
“pro-life” masih berlangsung hingga
saat ini. Usaha-usaha untuk mempromosikan tiap konsep ini oleh masing-masing
gerakan terus didengungkan dalam perbagai media dan rupa. Di tengah pelbagai
kontroversinya, gagasan “pro-choice” sendiri
telah diangkat secara metaforis, salah satunya melalui media film: “Prometheus”
Bab III: Film
“Prometheus” dan Metafora “Pro-Choice”
Setelah membahas secara teoretis, konsep metafora dan “pro-choice”, maka selanjutnya akan
dianalisa konsep “pro-choice” yang
dihadirkan secara metaforis dalam film “Prometheus”. Terlebih dahulu akan
dikemukakan garis besar film itu sendiri.
III.1. Garis Besar Film “Prometheus”
Film “Prometheus” merupakan buah arahan sutradara Ridley
Scott dengan penulis skenario Jon Spaihts dan Damon Lindelof. Kisah film ini
bermasa depan tahun 2093. Sebuah tim melakukan ekspedisi luar angkasa dengan
pesawat atau lebih tepatnya ‘bahtera angkasa’ bernama Prometheus (diambil dari
nama seorang tokoh mitologi Yunani) dilakukan atas teori dua ilmuwan Elizabeth
Shaw dan Charlie Holloway yang pada tahun 2089 menemukan gambar di sebuah gua
di Skotlandia. Peta ini diinterpretasikan Elizabeth sebagai undangan kepada
manusia untuk bertemu dengan “insinyur” (The
Engineer) – sebutan Elizabeth untuk pencipta manusia. Ekspedisi ini
dipimpin oleh Meredith Vickers (diperankan oleh Charlize Theron), direktur
utama di Weyland Corporation (pendana utama ekspedisi ini) dan David (diperankan
oleh Michael Fassbender), robot yang diciptakan pemilik Weyland, Peter Weyland
(diperankan oleh Guy Pearce) berdasarkan citra bakal putra yang tak pernah
dimiliki Peter. Ekspedisi ini akhirnya tiba di planet yang sesuai dengan peta
undangan yang tergambar di gua. Sebuah planet yang menyerupai bumi. Di planet
inilah tim Prometheus menemukan makhluk dan peninggalan-peninggalan yang
mengindasikan bahwa merekalah ‘sang insinyur’. (Utari, 2012:1).
Hanya saja, ekspedisi ini
mengalami kejanggalan demi kejanggalan, terutama hadirnya mahkluk mutan yang
membunuh anggota ekspedisi ini satu persatu, hingga tersisa hanya Elizabeth
Shaw sendiri. Belum lagi, intrik yang hadir dalam diri David yang menguji coba
temuan mutasi genetika di planet tersebut ke dalam diri Charlie Holloway,
sehingga mengakibatkan tewasnya pasangan hidup Elizabeth Shaw tersebut secara
sangat mengenaskan. Yang mengejutkan adalah bahwa ketika Charlie Holloway
terpapar atau terinfeksi dengan mutasi genetika tersebut, ia sempat berhubungan
dengan Elizabeth Shaw sehingga arkeolog perempuan itu hamil ‘dengan sangat
cepat’, padahal ia menyatakan dirinya mandul. Di sinilah dilema terjadi, di
satu sisi Elizabeth Shaw ingin menggugurkan kandungan ‘tak wajar’-nya itu, di
sisi lain David ingin mempertahankan janin tersebut demi ambisi analitisnya.
(Kearns, 2012:1).
Setelah menggugurkan
kandungannya melalui bedah sesar lewat bantuan alat canggih bernama Med-pod, Elizabeth Shaw kemudian
mendapati bahwa mutasi genetika yang dibuat oleh para ‘insinyur’ tersebut
ditujukan untuk menghancurkan umat manusia di bumi. Ketika akhirnya Elizabeth
Shaw berjumpa dengan satu-satunya ‘insinyur’ yang masih hidup di planet
tersebut, ia berusaha menanyakan dan mencari tahu kenapa para ‘insinyur’ ini
mencoba menghancurkan makhluk, dalam hal ini manusia, yang mereka ‘ciptakan’
sendiri. Namun, ‘insinyur’ tersebut yang berwujud seperti manusia dengan tubuh setinggi lebih dari 2,5 meter dan berwarna
kulit putih bersih itu malah mengejar dan berusaha membunuh Elizabeth Shaw.
III.2. Analisa atas Metafora “Pro-Choice” dalam “Prometheus”
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, oleh para pengamat
dan kritikus film, “Prometheus” memuat metafora yang menonjolkan konsep “pro-choice”. Maka dari itu, pada bagian
ini, akan dipaparkan dua contoh dialog dalam film “Prometheus” yang menampikan
metafora sebagai penanda konsep “pro-choice”
beserta analisanya.
a. “I want it
out of me.” (“Aku ingin itu
keluar dari aku.”)
Setelah tokoh Charlie Holloway terbunuh secara tragis
karena terinfeksi dengan mutasi genetis di planet asing tersebut, pasangannya, Elizabeth
Shaw kemudian diperiksa oleh David untuk mencari tahu jika ia juga terinfeksi.
Namun, yang ditemukan dalam pemeriksaan tersebut sangat di luar dugaan mereka.
Elizabeth Shaw ternyata hamil. Ini tergambar dalam dialog mereka berikut ini:
David :
My...my... you’re pregnant.
(Wah...wah...
anda hamil.)
E. Shaw : What?
(Apa?)
David :
From the look of it, it’s three months
so.
(Dari
tampilannya, janin itu berusia tiga bulan.)
E. Shaw : No, it’s impossible. I can’t be pregnant.
(Tidak, itu tidak mungkin. Aku tidak bisa hamil)
David :
Did you have an intercourse with Dr.
Holloway?
(Apakah anda
berhubungan dengan Dr. Holloway?)
E. Shaw :
Yes, but 10 hours ago. There’s no bloody
way I’m three months pregnant.
(Ya,
tetapi 10 jam yang lalu. Sangat tidak
mungkin aku hamil tiga bulan.)
David :
Well, it’s not exactly traditional fetus.
(Yah, ini tidak persis janin yang biasanya)
E. Shaw :
I want to see it. I want it out of me.
(Aku ingin melihatnya. Aku ingin itu dikeluarkan dari aku.)
David :
I’m afraid we don’t have the personnel to
perform a procedure like that. Our best option is...
(Saya khawatir kami tidak memiliki personil untuk
melakukan prosedur seperti itu. Pilihan terbaik kita adalah...)
E. Shaw :
I want it out!
(Aku ingin itu keluar!)
Setelah terjadi perdebatan ini, David kemudian membius Elizabeth Shaw
dengan maksud agar ia dapat diamankan. Namun kemudian, setelah berhasil
melumpuhkan dua orang petugas medis pesawat lainnya, Elizabeth Shaw langsung
menuju sebuah alat operasi medis canggih, Med-pod,
untuk mengeluarkan dan menghabisi janinnya.
Analisa:
Bagian dialog ini hendak menunjukkan metafora in absentia yang mana janin
sebagai eksistensi yang hidup disebut dengan kata ganti ‘it’ yang merupakan kata ganti orang ketiga tunggal bahasa Inggris yang
bersifat netral, dalam artian bukan maskulin atau feminin. Meski dalam bahasa
Inggris, kata ganti untuk bayi dan janin adalah memang ‘it’, namun ungkapan penolakan tokoh Elizabeth Shaw atas kehadiran
janin di rahimnya tersebut menghadirkan penyimpangan makna. Kata ‘it’ yang diucapkan oleh Elizabeth Shaw
dalam dialog tersebut serta merta tidak akan dipahami sebagai janin manusia,
tetapi lebih sebagai benda asing yang hidup.
Kekalutan yang dialami oleh Elizabeth Shaw ketika ia
mengetahui tiba-tiba dirinya telah hamil merupakan gambaran ekspresi dari
sekian perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Kekalutan
seperti inilah yang menghantar mereka pada pilihan-pilihan dan salah satunya
adalah aborsi. Pilihan untuk aborsi biasanya yang paling dominan diambil oleh
mereka yang meyakini kebenaran konsep “pro-choice”.
Dengan demikian bagian dialog ini menjadi bagian inti dari metafora “pro-choice” yang hendak dihadirkan
dalam film “Prometheus.
b. “They changed their
minds” (Mereka mengubah pikiran mereka)
Pada bagian akhir film ini, terdapat dialog yang juga
memuat metafora “pro-choice”, antara
David (yang telah terpisah antara kepala dan badannya) dengan Elizabeth Shaw.
Robot itu menanyakan kepada perempuan itu, kenapa, setelah lolos dari semua
bencana di planet asing tersebut, ia malah ingin pergi ke planet asal para
“insinyur” tersebut dengan pesawat yang tersisa dan bukannya kembali ke Bumi. Elizabeth
Shaw ingin mencari tahu semuanya. Berikut ini adalah dialog yang dimaksud
beserta analisanya:
David :
May I ask what you hope to achieve by
going there?
(Boleh
saya tahu apa yang anda harap peroleh dengan pergi ke sana?)
E. Shaw :
They created us, then they tried to kill
us. They changed their minds. I
deserved to know why.
(Mereka
menciptakan kita, kemudian mereka mencoba membunuh kita. Mereka mengubah pikiran
mereka. Aku patut tahu kenapa.)
Analisa:
Metafora in praesentia yang
dihadirkan melalui ungkapan Elizabeth Shaw “They
changed their minds” (“Mereka mengubah pikiran mereka”) tersebut
menggambarkan suatu kontradiksi bahwa setelah ‘menciptakan’ manusia, para
‘insinyur’ tersebut kemudian malah ingin membunuh ‘ciptaan’ mereka, hanya
karena mereka berubah pikiran. Metafora ini hendak menggambarkan kenyataan
bahwa aborsi dapat terjadi oleh karena seorang perempuan yang hamil dapat
berubah pikiran mengenai janinnya. Konsepsi atau persetubuhan bisa dipandang
sebagai metafora penciptaan manusia baru. Sementara aborsi merupakan praktek
‘penghilangan’ janin yang merupakan cikal bakal manusia baru. Metafora dari
dialog ini hendak menyentil anggapan dari gerakan “pro-life” yang lebih melihat aborsi semata-mata sebagai tindak
pembunuhan. Sementara itu dari sisi “pro-choice”,
pilihan yang berbeda dapat diambil ketika seorang perempuan berubah pikiran
mengenai janinnya akibat permasalahan pelik yang ia hadapi, entah dari sisi
ekonomi, medis atau sisi lainnya. Bisa saja terjadi, bahwa aborsi yang
dilakukan oleh para perempuan hamil terjadi karena mereka berubah pikiran dan
itu satu pilihan (choice) yang mereka
ambil beserta dengan segala konsekuensinya.
Kesimpulan
Melalui contoh dua dialog penting dalam “Prometheus” yang
telah dibahas sebelumnya, dapat ditunjukkan bahwa film tersebut telah berhasil
mengusung metafora “pro-choice”. Kreativitas
dari para penulis skenario (Jon Spaihts dan Damon Lindelof) dalam menulis
dialog-dialog yang ‘membungkus’ konsep “pro-choice”
berpadu dengan tangan dingin sang sutradara, Ridley Scott. Hasilnya adalah
“Prometheus” tidak hanya dihadirkan sebagai film fiksi ilmiah futuristis
belaka, namun film tersebut mampu mengangkat konsep yang selama ini telah
menjadi kontroversi karena tuntutannya untuk membebaskan tiap perempuan
melakukan aborsi seturut pilihan dan keputusannya sendiri: “pro-choice”
Kreativitas dalam
bermetafora telah dibuktikan tidak hanya berlangsung dalam bahasa percakapan
sehari-hari, namun juga dalam dialog-dialog virtual yang disimak dalam sebuah
film. Hal ini hendak mengindikasikan betapa kayanya kemampuan berbahasa
manusia, sekaligus menjadi pijakan untuk mengembangkan kreativitas yang serupa
dalam media yang berbeda. Terutama di era media sosial, kreativitas seperti ini
akan dapat dikembangkan lebih jauh. Tujuannya adalah untuk mengusung gagasan
dan konsep yang sekiranya dapat membuka khasanah berpikir lebih banyak orang.
Perlu dicatat dan
diperhatikan bahwa keseluruhan makalah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk
mempromosikan atau membela konsep dan gerakan “pro-choice”, tetapi terlebih untuk mengedepankan bahasan mengenai
metafora. Dalam hal ini, metafora sebagai karya kreativitas manusia yang
berbahasa mampu dimanfaatkan untuk mengusung konsep atau gagasan yang selama
ini menjadi kontradiksi di tengah masyarakat bahkan yang bersifat sensitif
sekalipun, agar dapat dipahami secara lebih berimbang.
Ray Bradbury, seorang penulis novel-novel
fantasi dari Amerika Serikat pernah mengungkapkan bahwa, “I think the reason my stories have been so successful is that I have a
strong sense of metaphor.” Keberhasilan Bradbury dalam tulisan-tulisannya
ternyata ditentukan oleh rasa yang kuat akan metafora. Dengan demikian,
metafora semakin ditegaskan sebagai sarana atau alat dari manusia atau
masyarakat yang berbahasa untuk mengungkapkan gagasan atau konsep yang sulit
diungkapkan secara langsung dan terbuka.
“When I can’t talk sense, I talk metaphor”
(Ketika saya
tidak dapat mengatakan rasa, saya mengucapkan metafora)
-John Philpot Curran (politikus Irlandia abad ke 18)-
Daftar Referensi
1.
Film:
Scott, Ridley (Director). 2012. Prometheus. Los Angeles: 20th Century
Fox.
2.
Sumber-sumber Internet:
Amalia, Yendi. 2010. Aborsi
Sebagai Suara Hati Perempuan. (http://samsara-artikel.blogspot.com/2010/01/aborsi-sebagai-suara-hati-perempuan.html)
Head, Tom. _________. Pro
Life vs Pro Choice. (http://civilliberty. about.com/od/abortion/tp/Pro-Life-vs-Pro-Choice.htm)
Kearns, Megan. 2012. Is
‘Prometheus’ a Feminist Pro-Choice Metaphor. (http://www.btchflcks.com/2012/06/is-prometheus-feminist-pro-choice.html).
Utari, Dewi Ria. 2012. Prometheus, Ekspedisi Menemukan Sang Pencipta. (http://www.beritasatu.com/film/52709-prometheus-ekspedisi-menemukan-sang-pencipta.html)
3.
Literatur Kepustakaan:
Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. Massachusets:
Blackwell Publishers. Ltd.
Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT. Gramedia.
Kusuma, Okke, dkk. 2011. Telaah Wacana: Teori dan Penerapannya. Depok: The Intercultural
Institute.
Ruse, Cathy Cleaver dan Schwarzwalder, Rob. 2011. The Best Pro-Life Arguments for Secular
Audiences. Washington D.C.: Familiy Research Council.
Subroto, Edi H., Prof., Dr. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: PT. Cakrawala
Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar