There is a saying: if you want the world knows you, write!
I believe that the saying says the truth. All of the great thinkers and scientists write their bright and brilliant ideas into books or papers. From time to time, the ideas are preserved. People born in the next period of their life time still can read what they have written.
Every single day in your life, words are said in a language you speak. They can be meaningless, but somehow and sometime they are smart ideas you have not thought before. They create the sparked moment in your mind which we usually call as eureka moment. Unfortunately, we choose to let them go away. We are too lazy to write.
No matter how the ideas pop up in your mind, take time to write them down. Although they are scrambled things, you can sort them later into logical yet readable text. All you need is to fight down the burden of postponing to write the simple thing which actually can be great, someday.
This blog represents my passion, my enthusiasm, my interest and my field of study: language.
Jumat, 02 Oktober 2015
Perintah dalam film The Impossible
Pendahuluan
Salah bentuk tuturan yang banyak
diucapkan dalam percakapan sehari-hari adalah perintah (command/order). Dalam
percakapan antara dua orang, perintah dituturkan dengan kondisi ada yang
memerintah dan ada yang diperintah. Sesuai konteksnya, perintah biasanya
dituturkan dalam situasi-situasi khusus atau tertentu. Dalam konteks yang lebih
khusus, perintah akan banyak dituturkan atau diucapkan dalam situasi yang
gawat, darurat dan mendesak, misalnya ketika terjadi bencana alam.
Sebagai contoh bagaimana perintah
dituturkan dalam situasi bencana alam, dalam makalah ini akan diambil peristiwa
tsunami yang digambarkan dalam film “The Impossible”. Film ini diangkat dari
kisah nyata sebuah keluarga dari Spanyol, Quique dan Maria Alvarez serta ketiga
putra mereka Lucas, Simon dan Tomas yang bertahan hidup dari terjangan tsunami
di Thailand, saat mereka berlibur pada tanggal 26 Desember 2004. Mereka sempat
terpisah-pisah selama beberapa hari, sebelum akhirnya mereka dapat berkumpul
kembali.
Film yang disutradai oleh J.A. Bayona tersebut, dibintangi oleh Ewan
McGregor (Henry-nama ini dipilih untuk mengganti nama Quique) dan Naomi Watts
(Maria). Lokasi pengambilan gambarnya banyak diambil di Thailand. Hampir
seluruh rentetan peristiwa bencana yang dialami keluarga Alvarez ini
digambarkan sama persis dalam film tersebut, terutama saat gelombang air laut
menghantam hotel tempat mereka berlibur. Maria hanyut bersama Lucas, sedangkan
Quique bertahan di sebatang pohon bersama Simon dan Tomas. Dalam situasi darurat
dan panik, ketika digulung ombak yang menghanyutkan keluarga ini dan
turis-turis lainnya, dapat disimak bagaimana Maria memberi perintah kepada
Lucas ketika mereka hanyut bersama-sama demi menyelamatkan diri mereka.
Makalah ini akan membahas dan menganalisa
perintah-perintah yang dituturkan oleh tokoh-tokoh dalam film ini, terutama
ketika mereka berusaha untuk menyelamatkan diri dari gulungan ombak yang
menghanyutkan dan menenggelamkan mereka. Sebelumnya, sebagai langkah awal dalam
pembahasan dan penelitian ini adalah pemaparan teori-teori yang berkaitan
dengan tuturan perintah sebagai bentuk dari tindak ilokusi (illocutionary acts).
Landasan Teori
Tindak
tutur merupakan bentuk tindakan yang ditunjukkan melalui tuturan-tuturan dan
biasanya diberikan label yang lebih spesifik seperti permintaan maaf, keluhan,
pujian, undangan, janji ataupun permintaan. Istilah-istilah deskriptif untuk
berbagai macam tindak tutur ini berlaku pada maksud komunikatif penutur dalam
memproduksi tuturan. Penutur biasanya mengharapkan bahwa maksud komunikatifnya
dapat dikenali oleh pendengaranya. Baik penutur maupun pendengar biasanya
dibantu dalam proses ini oleh keadaan yang melingkupi tuturan-tuturan tersebut
(Yule, 1996: 47)
Pada
prinsipnya tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah
sama. Tiap pernyataan yang dituturkan mencerminkan tindakan si penuturnya itu.
Dalam ungkapan lain, tindak tutur tidak hanya mengungkapkan gaya bicara si
penutur, tetapi juga merefleksikan tanggung jawab si penutur terhadap isi
tuturannya, mengingat isi tuturannya itu mengandung maksud-maksud tertentu
dalam mempengaruh pendengarnya. John Langshaw Austin membagi tindak tutur ke
dalam tiga jenis, yakni (1) tindak lokusi (locutionary
acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary
acts) dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary
acts). (Wibowo, 2011:36-37)
Berikut ini adalah uraiannya:
1)
Tindak lokusi (locutionary acts), yaitu tindak tutur si
penutur dalam menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan
bagi si penutur itu untuk melaksanakan isi tuturannya. Austin menggolongkan
tindak lokusi ke dalam tiga sub-jenis:
-
Tindak fonetis (phonetic acts), yakni tindak mengucapkan
bunyi tertentu, misalnya “a-k-u”, “c-u-a-c-a”.
-
Tindak fatis (phatic acts), yakni tindak tutur
mengucapkan kosakata tertentu yang membentuk suatu gramatika tertentu yang
dikenal pula sebagai kalimat langsung, misalnya “Jangan berani menggoda pacar saya, nanti saya lapor istrimu.”, ujar Rudi.
-
Tindak retis (rhetic acts), yakni tindak tutur dengan
tujuan melaporkan apa yang dituturkan si penutur, yang juga disebut sebagai
kalimat tak langsung, misalnya Rudi
mengatakan bahwa pria yang menggoda pacarnya akan ia laporkan.
2)
Tindak ilokusi (illocutionary acts), yakni tindak tutur
si penutur yang hendak menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang
khas, yang membuat si penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang
dituturkannya. Dengan kata lain, dalam tuturan tersebut terkandung suatu
kekuatan yang mewajibkan si penutur melaksanakan apa yang dituturkannya. J.L.
Austin membagi tindak ilokusi ke dalam lima sub-jenis:
-
Verdiktif (verdictives acts), yakni tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang
bertalian dengan benar-salah, namun keputusan tersebut bukan keputusan yang
bersifat final. Kata-kata yang termasuk dalam kategori tindak tutur verdiktif
antara lain: membebaskan, menghukum,
menafsirkan, memperhitungkan, menetapkan tempat, menyangka, mengukur,
melukiskan, menempatkan, menentukan tanggal, memerintah.
-
Eksersitif (exercitives acts), yakni tindak tutur
yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh. Kata-kata yang
termasuk dalam kategori eksersitif antara lain: menunjuk, menamai, memproklamasikan, menasehati, mengarahkan, memaksa,
memberi suara, memperingatkan, memerintah, memilih.
-
Komisif (commissives acts), yakni tindak tutur
yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur
melakukan sesuatu. Kata-kata yang termasuk dalam kategori komisif antara lain: melakukan kontrak, bersumpah, mengumumkan, melawan,
bertaruh, mendukung.
-
Behabitif (behabitives acts), yakni tindak tutur
yang mencerminkan kepedulian sosial yang bertalian dengan rasa simpati, saling
memaafkan atau saling mendukung. Kata-kata yang termasuk dalam kategori
behabitif antara lain: ucapan selamat,
tantangan, pemberian maaf, turut berduka cita.
-
Ekspositif (expositives acts), yakni tindak tutur
yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi yang berasal dari
referensi tertentu, misalnya “Demokrasi itu pada pokoknya dapat diibaratkan
sebagai sebuah rumah tangga yang orang-orang di dalamnya hidup rukun, damai,
dan bebas berbicara sesuai kapasitasnya masing-masing.
3)
Tindak perlokusi (perlocutionary acts), yakni efek tindak
tutur si penutur bagi pendengarnya. Dalam penegasan lain, bila tindak lokusi
dan tindak ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, pada
tindak perlokusi yang ditekankan adalah bagaimana respons pendengarnya. Hal
ini, menurut J.L. Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh
pikiran dan perasaan. Kata-kata yang termasuk dalam tindak perlokusi antara
lain: meyakinkan, menyenangkan, menipu,
menakuti, membujuk, merayu dan mengarahkan.
John
Searle, murid dari Austin, mengembangkan
teori tindak tutur dengan mengkategorisasikan semua peristiwa tutur ke dalam
bermacam-macam tindakan dan kemudian mencoba untuk menentukan kebenaran atau
validitas atas setiap tipe tindak tutur. Searle menyatakan bahwa setidaknya
terdapat lima klasifikasi kondisi kebenaran dalam tindak tutur:
a.
Penutur harus berniat
melakukan apa yang ia janjikan.
b.
Penutur harus percaya
(bahwa pendengarnya percaya) bahwa tindakan-tindakannya dalam kepentingan
terbaik pendengar.
c.
Penutur harus percaya
bahwa ia dapat melakukan suatu tindakan.
d.
Penutur harus
mendasari diri pada tindakan masa depan.
e.
Penutur harus
mendasari diri pada tindakan atas dirinya sendiri.
Pada intinya, Searle
menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita katakan membentuk suatu tindak tutur.
Lebih jauh lagi, setiap tipe tindak tutur diperintah oleh sekumpulan kondisi
kebenaran yang harus terjadi jika tindak tutur tersebut valid (Parker, 1986:
14-15).
Searle
kemudian memasukkan perintah sebagai bentuk dari tindak ilokusi (illocutionary acts) dan secara
terperinci sebagai bagian dari tuturan direktif (directives). Pembagian tindak ilokusi menurut Searle adalah sebagai
berikut (Verschueren, 1999:24):
a. Asertif merupakan tuturan yang mengungkapkan keyakinan
dan mendorong penutur pada kebenaran atas apa yang ia nyatakan: pernyataan.
b. Direktif merupakan tuturan yang mengungkapkan suatu
harapan dan diperhitungkan sebagai usaha untuk mendorong pendengarnya melakukan
sesuatu: permintaan atau perintah.
c. Komisif merupakan tuturan yang mengungkapkan suatu maksud
dan diperhitungkan sebagai suatu komitmen bagai penutur untuk mengikat dirinya
dalam arah tindakan di masa depan: janji atau tawaran.
d. Ekspresif merupakan tuturan yang mengungkapkan suatu
variasi pernyataan psikologis dan diperhitungkan sebagai suatu ungkapakan
pernyataan psikologis: permintaan maaf atau ucapan terima kasih.
e. Deklarasi merupakan tuturan yang tidak mengungkapkan
suatu variasi pernyataan psikologis dan tujuan yang hendak dibawa adalah
perubahan dalam kenyataan: pembaptisan atau pernyataan perang).
Berdasarkan
rincian mengenai tindak ilokusi menurut Searle tersebut, maka dapat ditunjukkan
bahwa perintah merupakan tuturan yang diucapkan ketika terdapat harapan dari
penutur agar tuturannya dilaksanakan oleh pendengarnya. Dengan kata lain
pendengar (dari penutur yang mengungkapkan perintah tersebut) diharapkan atau
diminta untuk melakukan sesuatu, seperti apa yang dituturkan oleh penuturnya.
Pembahasan
Setelah dipaparkan landasan teori mengenai perintah,
selanjutnya akan dibahas dan dianalisa beberapa perintah yang dituturkan oleh
para tokoh dalam peristiwa tsunami dari film ‘The Impossible’. Tuturan perintah
yang dipilih untuk dianalisis adalah sebagai berikut:
a.
“Get safe the boys!” (“Selamatkan anak-anak!”)
Perintah ini dituturkan oleh Maria kepada Henry, suaminya,
ketika gelombang tsunami sudah menerjang hotel. Ia memberi perintah suaminya
itu untuk menyelamatkan Tomas dan Simon yang sedang berada di dekat Henry. Beberapa
detik kemudian, meski dihantam oleh tsunami, Henry tetap memegang Tomas dan
Simon. Sementara itu, Maria sendiri hanyut oleh arus deras yang tercipta dari
gelombang raksasa tersebut.
b.
“Get me out of
here!” (“Keluarkan aku dari sini!”)
Saat terseret
oleh gelombang tsunami, Lukas yang timbul tenggelam di dalam air, sempat
berpapasan dengan ibunya yang sedang berpegangan pada sebatang pohon kelapa.
Karena tak dapat menjangkau Lucas, maka Maria melepaskan pegangannya untuk
mengejar Lucas dengan berenang di dalam arus yang sangat deras. Pada saat
berpapasan kembali, Lucas menuturkan perintah agar ia ‘dikeluarkan’ dari arus
tsunami tersebut.
c.
“We have to find somewhere else!” (“Kita harus menemukan tempat yang lain!”)
Saat arus deras tsunami mulai surut, Maria dan Lucas yang
terpisah dari Henry, Simon dan Tomas, berada dalam situasi kepanikan, karena
kekacauan yang melanda seluruh wilayah di hotel tempat mereka berlibur. Yang
mereka dapati hanyalah puing-puing dan jenazah yang terpencar-pencar di
mana-mana. Dalam kondisi terluka parah, Maria menuturkan kata perintah kepada
Maria, agar mencari tempat yang lain, yang sekiranya lebih aman daripada tempat
mereka berada saat itu.
d.
“So cold
here” (“Di sini sangat dingin”)
Tuturan ini
diucapkan oleh Maria kepada Lucas dengan maksud untuk memberikan perintah kepada
Lucas agar ia pergi mengambilkan obat, karena pada saat itu Maria berada dalam
keadaan yang semakin parah. Luka-lukanya belum ditangani secara tepat oleh
dokter dan paramedis di RS sehingga ia merasa kedinginan.
e.
“I only got him in this life” (“Hanya dia yang aku punya di dunia
ini”)
Tuturan ini
diucapkan oleh Maria kepada dokter yang sedang memeriksanya agar ia segera
diobati. Pada saat itu yang Maria ketahui, ia sudah kehilangan suami dan kedua
anak lainnya, sehingga ia merasa tinggal Lucas yang ia punya. Ia tidak ingin
mati karena luka-lukanya itu, agar Lucas sebagai satu-satunya anggota keluarga
yang ia anggap yang masih tersisa, tidak kehilangan dirinya.
f.
“I got a blood you get to stop it, please!” (“Saya mengalami pendarahan, tolong hentikan!”
Akibat terjangan
tsunami yang ia alami, Maria mengalami luka pendarahan yang sangat parah di
sekujur tubuhnya. Saat itu para dokter dan paramedis sedang sibuk menangani
sekian banyak pasien yang adala korban dari bencana tersebut. Saat itu Maria
merasa tidak dipedulikan oleh para dokter dan paramedis yang ada di sekitarnya,
sementara ia mengalami pendarahan yang harus segera dihentikan. Tuturannya ini
merupakan sebentuk permintaan tolong yang dibungkus dalam perintah terhadap
dokter yang berada di dekatnya saat itu.
g.
“You need to eat something.” (“Kamu harus makan.”)
Saat terbaring
lemah di Rumah Sakit, Maria saat itu belum makan apa-apa lagi sesudah diterjang
dan selamat dari tsunami bersama Lucas, putranya. Melihat keadaan ibunya yang
lemah, Lucas meminta ibunya untuk makan. Di situ ia mengupaskan sebuah jeruk
dan meminta ibunya untuk memakannya dengan harapan agar ibunya dapat mengisi
perutnya yang kosong setelah beberapa saat tidak lagi makan apa-apa.
h.
“She must be starving” (“Dia pasti lapar.”)
Pada saat berada
di RS, ada pasien perempuan yang juga korban tsunami yang dibaringkan di
sebelah ranjang Maria. Sesudah ia makan jeruk yang diberikan oleh Lucas, Maria
menuturkan kata-kata tersebut sebagai bentuk perintah kepada Lucas agar ia juga
memberikan jeruknya kepada pasien tersebut. Hanya saja, pasien tersebut hanya
diam tak bergerak, karena trauma parah yang ia alami sesudah diterjang tsunami.
i.
“Watch this place.” (“Perhatikan tempat ini.”)
Saat terbaring
lemah di atas ranjang pasien, Maria memperhatikan sedemikian banyak pasien yang
merupakan korban dari bencana tsunami saat itu. Ia pun menuturkan perintah
kepada Lucas agar ia melihat ke sekeliling mereka dengan maksud agar Lucas
tergerak untuk membantu para korban lainnya. Yang dilakukan Lucas kemudian adalah
ia pun membantu para korban tsunami yang lain untuk mencari sanak saudara
mereka yang hilang atau tersesat.
j.
“I heard everyone go to the mountain to safe alive.” (“Ayah dengar
semua orang pergi ke pegunungan sebagai tempat berlindung yang aman”)
Sesudah selamat
dari terjangan tsunami, Henry mengatakan kepada Thomas bahwa ia akan mencari
tepat yang aman di sekitar pegunungan. Ini merupakan sebentuk perintah agar
mereka segera bergerak dari lokasi mereka saat itu ke lokasi lain yang lebih
aman.
Kesimpulan
Dalam situasi yang darurat, perintah sebagai bentuk
tindak ilokusi dapat dituturkan dalam berbagai cara dan untuk berbagai maksud.
Cara yang dimaksudkan di sini adalah dengan dituturkan secara langsung ataupun
dituturkan secara tersirat sebagai bentuk pernyataan. Maksud suatu perintah
dituturkan dalam keadaan darurat tentu saja adalah demi keselamatan orang-orang
yang berada dalam situasi tersebut. Pada situasi yang semakin darurat
atau mendesak, perintah dituturkan secara lebih singkat. Sedangkan pada situasi
yang semakin tenang, perintah dapat dituturkan secara lebih panjang atau
lengkap.
Inilah yang dapat diamati dalam film
“The Impossible”, yang mana dialog di dalamnya memuat beberapa perintah,
terutama yang dituturkan oleh figur-figur utama dalam film tersebut.
Perintah-perintah yang dapat ditemukan dalam tersebut berupa perintah untuk
menyelamatkan diri, perintah untuk minta tolong atau bantuan dan perintah untuk
mencari tempat yang lebih aman. Dengan demikian, perintah menjadi bentuk tindak
ilokusi yang paling banyak dituturkan dalam suatu situasi darurat, seperti
halnya dalam bencana tsunami yang digambarkan dalam film “The Impossible”.
Daftar Pustaka
Parker,
Frank, Ph.D. 1986. Linguistics for
Non-Linguists. London: Taylor & Francis Ltd.
Verschueren, Jef.
1999. Understanding Pragmatics. London:
Arnold.
Wibowo,
Wahyu, Dr. 2011. Linguistik Fenomenologis
John Langshaw Austin: Ketika Tuturan Berarti Tindakan. Jakarta: Bidik
Phronesis Publishing.
Yule,
George. 1996. Pragmatics. Oxford:
Oxford University Press.
Pelanggaran Maksim Kerjasama dalam Novel "Manusia Setengah Salmon" karya Raditya Dika
PENDAHULUAN
Dunia hiburan di Indonesia
beberapa tahun terakhir ini semakin diramaikan dengan kehadiran jenis hiburan
komedi terbaru, yakni stand up comedy. Yang
dimaksud dengan stand up comedy adalah
bentuk dari seni komedi atau melawak yang disampaikan secara monolog kepada
penonton. Biasanya ini dilakukan oleh secara live dan komedian akan melakukan one man show. Meskipun disebut dengan stand up comedy, stand up
comedian atau yang sering disebut
dengan istilah ‘comic’ tidaklah
selalu berdiri dalam menyampaikan komedinya. Ada beberapa ‘comic’ yang melakukannya dengan duduk di kursi persis seperti orang
yang bercerita. (Affan, 2012: 5)
Stand up comedy di Indonesia sebenarnya sudah dimulai oleh Alm. Taufik
Savalas yang hanya menyampaikan anekdot-anekdot lucu lewat acara Comedy Cafe, namun acara ini kurang
populer. Usahanya ini kemudian diteruskan oleh Iwel Wel yang mengisi acara
“Jayus Plis Dong Ah” dan juga acara “Bincang Bintang” yang memang didesain
untuk stand up comedy. Sayangnya
acara ini juga tidak begitu populer. (Affan, 2012: 22)
Stand up comedy yang sebenar-benarnya mulai diangkat ke dunia
pertelevisian ketika Kompas TV mulai mengudara. Stasiun TV yang berafiliasi
dengan harian terbesar di Indonesia yakni Kompas mengadakan audisi dan
kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (disingkat
SUCI) yang diikuti comic-comic pemula
dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Selain itu, Metro TV juga ikut
menyiarkan acara Stand Up Comedy Show yang
diisi oleh para comic profesional.
Melalui peran jejaring sosial media pula, stand
up comedy mulai merebak dan menjamur di seluruh Indonesia dengan hadirnya
kelompok atau grup comic di pelbagai
kota.
Di antara para comic
kenamaan di Indonesia salah satu nama yang patut diperhitungkan memiliki
kapasitas sebagai comic dengan materi
yang paling digemari oleh para remaja di Indonesia adalah Raditya Dika. Ia
memulai kiprahnya sebagai comic dengan
terlebih dahulu menjadi seorang blogger (penulis
blog) semasa ia menempuh studi di
Australia. Blog-nya yang diisi dengan
kisah pengalaman pribadinya yang sebagian besar menceritakan segala bentuk
kebodohan dan kekonyolan yang ia lakukan. Sebagian besar isi blog-nya tersebut ia bukukan dan laku di
pasaran. Isi blog-nya itu pulalah
yang kemudian ia jadikan sebagai materi dalam stand up comedy-nya. Dari sekian buku-buku yang ia terbitkan tdua
di antaranya telah difilmkan, yakni Kambing
Jantan dan Cinta Brontosaurus. Ia
juga membuat serial komedi yang ditayangkan di Kompas TV dengan judul Malam Minggu Miko. Serial ini pun juga
menjadi sedemikian populer dan difilmkan dengan judul Cinta Dalam Kardus.
Dari kacamata linguistik, hampir seluruh materi blog, buku dan filmnya merupakan wujud
dari pelanggaran prinsip kerjasama yang justru menghadirkan kelucuan yang khas.
Pola yang sama juga hadir di karyanya yang berjudul “Manusia Setengah Salmon”.
Maka dari itu, rumusan masalah yang hendak diangkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
a.
Pelanggaran prinsip
kerjasama apa saja yang dapat ditemukan dalam buku “Manusia Setengah Salmon”
karya Raditya Dika?
b.
Bagaimana analisis
atas pelanggaran prinsip kerjasama dalam buku “Manusia Setengah Salmon” karya
Raditya Dika?
Sebagai
metode dalam makalah ini adalah deskriptif kualitatif, yakni dengan mendata
pelanggaran-pelanggaran prinsip kerjasama yang ditemukan dalam buku “Manusia
Setengah Salmon”. Pelanggaran-pelanggaran yang diketemukan tersebut kemudian
akan dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai prinsip kerjasama.
1.
MENGENAI “MANUSIA SETENGAH SALMON”
“Manusia
Setengah Salmon” merupakan buku keenam dari Raditya Dika yang isinya masih
merupakan kisah pengalaman kehidupannya, sama seperti buku-bukunya sebelumnya
dan juga olahan twit-twit dari akun Twitter penulis sendiri: @RadityaDika. Di dalam buku
dengan tebal 258 halaman dan terdiri atas 19 bab ini, Raditya Dika banyak
menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan keluarga, kisah cintanya bahkan
dengan supirnya. Tema-tema yang ia angkat lebih berkisar mengenai relasi dengan
orang lain, yakni kisah masa kecil dan masa remajanya, interaksi dengan
keluarganya, hingga jatuh bangunnya untuk membangun relasi ekslusif dengan para
gadis yang ia taksir.
Cara
Raditya Dika berkisah dalam buku ini memang sungguh unik, yakni seperti
seseorang yang sedang curhat,
sehingga seolah ia menganggap para pembacanya sebagai teman yang siap
mendengarkan kisah hidupnya. Kepolosan, kejujuran dan keterbukaan dirinya untuk
menceritakan, tidak hanya kegembiraan ataupun kebahagiaan, tetapi juga
kebodohan, kesialan, kekonyolan dan juga kegundahannya menyebabkan buku ini
seperti buku harian yang siap disimak oleh siapa saja.
2.
KAJIAN TEORI: PRINSIP KERJASAMA
Untuk
memahami apa yang dimaksud dengan prinsip kerjasama, akan dipaparkan terlebih
dahulu dialog antara seorang pria dan seorang wanita berikut ini:
Pria :
“Apakah anjing anda menggigit?”
Wanita : “Tidak.”
(Pria itu lalu mencoba membelai anjing itu dan tiba-tiba
saja anjing itu menggigit tangannya.)
Pria : “Aduh, hei, tadi anda bilang anjing anda ini
tidak menggigit!”
Wanita : “Memang tidak. Yang ini bukan anjing saya.”
Salah
satu masalah dalam dialog di atas sangat erat berhubungan dengan komunikasi.
Secara khusus terjadi masalah yang disebabkan oleh asumsi si pria yang lebih
banyak menerima informasi dari pada
yang dikatakan. Masalah ini bukan
masalah yang berkaitan dengan dugaan awal di dalam frase ‘anjing anda’ (yakni:
wanita itu memiliki seekor anjing) yang mana memang benar bagi kedua orang
tersebut. Masalahnya adalah asumsi si pria bahwa pertanyaanya, “Apakah anjing
anda menggigit?” dan jawaban wanita itu “Tidak”, keduanya memang mengacu pada
anjing di depan mereka. Dari sudut pandang si pria, jawaban si wanita itu
memberikan informasi yang kurang dari yang diharapkan oleh si pria. Dengan kata
lain, perempuan itu mungkin diharapkan untuk memberikan informasi yang
dinyatakan dalam baris terakhir. Tentu saja, jika dia telah menyebutkan
informasi ini lebih dulu, dialog tersebut di atas tidak akan menjadi sedemikian
lucu. Konsep mengenai adanya sejumlah informasi yang diharapkan terdapat dalam
satu dialog hanya merupakan salah satu aspek gagasan yang lebih umum bahwa
orang-orang yang terlibat dalam suatu percakapan akan bekerja sama satu dengan
yang lain. Pada banyak kesempatan, asumsi kerjasama itu begitu meresap sehingga
dapat dinyatakan sebagai suatu prinsip
kerja sama (Yule, 2002: 36).
Salah
satu pakar linguistik yang menggagas teori mengenai prinsip kerja sama adalah
H.P. Grice. Ia mengawali teorinya ini dengan mengajukan suatu sistem logika
percakapan yang didasari atas sejumlah maksim percakapan yakni prinsip-prinsip
intuitif yang dimaksudkan untuk menuntun interaksi dalam percakapan demi
menjaga prinsip kerjasama yang umum. Prinsip kerjasama tersebut adalah sebagai
berikut (Verschueren, 1999:32) :
Buatlah sumbangan percakapan anda sejauh yang dibutuhkan,
pada tingkat yang mana itu terjadi, dengan tujuan dan arah yang diterima dalam
pertukaran pembicaraan dalam mana anda terlibat.
Sedangkan
yang menjadi maksim-maksimnya adalah:
a.
Maksim kuantitas:
1)
Buatlah sumbangan
percakapan anda seinformatif yang dibutuhkan untuk tujuan percakapan yang
sekarang.
2)
Jangan membuat
sumbangan percakapan anda lebih informatif dari yang dibutuhkan.
b.
Maksim kualitas:
Cobalah untuk membuat sumbangan percakapan anda benar adanya:
1)
Jangan katakan apa
yang anda percaya salah.
2)
Jangan katakan
hal-hal yang anda tahu tidak terbukti secara nyata.
c.
Maksim relasi atau
relevansi: Jadilah relevan.
d.
Maksim sikap: Jadilah
cerdik
1)
Hindari ketidakjelasan
ungkapan anda.
2)
Hindari ambiguitas.
3)
Singkatlah.
4)
Teraturlah.
Singkatnya,
maksim-maksim mengkhusukan apa yang penutur harus lakukan untuk mencapai cara
kerjasama yang rasional, efisien dan maksimal: penutur harus berkata tulus,
relevan dan jelas ketika menyedikan informasi yang cukup (Levinson, 1983: 102).
3.
TEMUAN DAN ANALISIS PELANGGARAN PRINSIP KERJASAMA DALAM
BUKU “MANUSIA SETENGAH SALMON”
Pada bagian ini akan dipaparkan temuan dan analisa atas
pelanggaran prinsip kerjasama dalam buku “Manusia Setengah Salmon” karya
Raditya Dika. Pemaparan akan dilakukan dengan memberikan contoh-contoh
pelanggaran prinsip kerjasama, termasuk pelanggaran atas maksim-maksimnya, yang
dapat ditemukan dalam buku tersebut.
a.
Contoh pelanggaran
prinsip kerjasama.
Contoh 1:
Nama sopir gue Sugiman. Gue mendapatkan Sugiman dari
kenalan Nyokap. Dia tahu gue sedang mencari sopir, dan katanya, Sugiman bisa
jadi orang yang tepat. Sewaktu gue tanya kenapa, ternyata di berpendapat begitu
karena gue berbintang Capricorn dan Sugiman berbintang Virgo. Cara yang tidak
lazim untuk merekomendasikan sopir kepada orang lain.
‘Mama udah lihat orangnya?’ tanya gue ke Nyokap.
‘Sugiman? Udah.’
‘Kayak gimana?’
‘Orangnya kumisan, rapi, pokoknya orangnya baik kok,
Dika,’ kata Nyokap.’Emang kenapa?’
‘Hmmm, gimana ya,’ kata gue, masih belum yakin.
‘Nyokap memegang pundak gue.’Udah, kamu coba kenal aja
dulu aja, nanti kalau udah saling kenal kan, gampang. Mama rasa, sih, dia cocok
untuk kepribadian kamu. Mudah-mudahan dia yang tepat buat kamu, Dika.’
(Bab “Bakar Saja
Keteknya”, hlm. 48)
Analisis: Dalam
percakapan yang berisi rekomendasi ibu Raditya Dika mengenai sopir yang hendak
dicari oleh Dika, sang ibu memberikan informasi yang tidak begitu dibutuhkan
dan telah melampaui tingkatan percakapan yang semestinya, karena sudah
menyinggung kemungkinan kedekatan antara si sopir dengan Dika.
b.
Contoh pelanggaran
maksim kuantitas.
Contoh 1:
‘Jadi begini
Dika.’ Bokap duduk di samping gue. Dia menghapus keringat yang membasahi
dahinya. ‘Kamu tahu apa itu Merpati Putih?’
‘Yang
silat-silat itu, Pa?’ gue balik bertanya.
‘Bukan hanya
silat-silat itu, Dika. Tapi, silat dengan tenaga dalam. Dari dalam tubuh kita.
Dengan ilmu pernapasan.’ Bokap menepuk pundak gue, layaknya seorang ayah yang
sedang bercerita tentang kejayaan masa lalunya. ‘Papa dulu sempat ikut Merpati
Putih. Waktu Papa lagi nyobain jurus Merpati Putih, tahu apa yang terjadi?’
‘Apa, Pa?’
Bokap memandangi
mata gue. ‘Papa kentut, Dika. Papa kentut,’ jawabnya tanpa keraguan.
(Bab “Ledakan Paling Merdu, hlm. 6)
Analisis: Pada dialog ini terjadi pelanggaran maksim
kuantitas, karena ayah dari Raditya Dika memberikan informasi yang sejatinya
tidak berkaitan dengan topik yang dibicarakan, yakni informasi mengenai
jurus-jurus silat yang justru ditanggapi dengan soal kentut.
Contoh 2:
Semakin mobil mendekati Anumoto, cewek-cewek genit yang
menggeliat di depan pintu tempat-tempat karaoke tersebut terlihat semakin
jelas. Kalau malam biasa sih gak papa, tetapi ini kan gue lagi first date. Gue
langsung ngerasa gak enak sama Patricia, gadis manis baik-baik yang sedang
duduk di sebelah gue ini.
‘Ini...kita mau ke mana ya?’ tanya Patricia. Mungkin
gara-gara ngeliat cewek-cewek menggelinjang di emperan-emperan, Patricia jadi
ngerasa gue punya niat jahat pada dirinya. Ini tidak baik.
‘Pokoknya, gak ada hubungannya sama cewek-cewek itu
deh,’kata gue. Gue lalu ketawa nervous.
(Bab “Pesan
Moral dari Sepiring Makanan”, hlm. 92)
Analisis: Pada
dialog ini, Raditya Dika memberikan informasi yang tidak dibutuhkan oleh lawan
bicaranya. Patricia, lawan bicaranya, membutuhkan informasi yang berkaitan
dengan tempat yang dituju, namun Raditya Dika memberikan informasi negasi yang
berkaitan dengan kesekitarannya. Sehingga di sini, Raditya Dika melakukan
pelanggaran maksim kualitas berkaitan dengan informasinya tersebut.
c.
Contoh pelanggaran
maksim kualitas.
Contoh 1:
T: Bang @radityadika kalo Ujian Nasional enaknya pake
pensil merek apa ya? (dari @marchafc)
J: Swallow.
(Bab “Akibat
Bertanya ke Orang yang Salah tentang Ujian, hlm. 16).
Analisis: Dialog
ini diambil dari pertanyaan seorang follower
di akun twitter Raditya Dika. Yang terjadi adalah pelanggaran maksim
kualitas, karena ketika ditanya mengenai merek pensil, Raditya Dika malah
memberikan informasi yang salah, yakni dengan menyebut ‘Swallow’ yang notabene
merupakan merek sandal jepit.
Contoh 2:
‘Aku udah laper nih.’ Anggi, adik yang lain kutan sewot.
‘Restorannya udah deket kan?’
‘Uh, iya, Abang yakin kita udah dekat,’ kata gue,
berbohong.
(Bab “Pesan
Moral dari Sepiring Makanan, hlm. 73)
Analisis: Dialog
ini selain menunjukkan keterdesakan Raditya Dika atas pertanyaan Anggi,
adiknya, juga hendak menampilkan contoh pelanggaran maksim kualitas, karena ia
memberikan informasi yang ia yakini salah dan nantinya tidak dapat terbukti
secara nyata, karena pada kelanjutannya, mereka tidak menemukan restoran yang
mereka cari.
d.
Contoh pelanggaran
maksim relasi (relevansi).
Contoh 1:
Setengah mengigau, Nyokap nanya, ‘Ken...kenapa
perut...kamu?’
‘Perutku sakit banget. Gimana ini, Ma? Aduh...’
Masih setengah sadar, Nyokap menggaruk-garuk kepalanya
dan berkata, ‘Kucing tetangga emang suka masuk ke rumah...’
(Bab “Ledakan
Paling Merdu, hlm. 8)
Analisis: Pada
dialog ini terjadi pelanggaran maksim relasi, karena ibu Raditya Dika tidak
memberikan jawaban yang relevan atas pertanyaan Dika mengenai sakit perut yang
sedang ia rasakan. Sang ibu malah memberikan informasi mengenai kucing
tetangga.
Contoh 2:
Setengah sewot, gue bertanya kepada Sugiman,
‘Pak? Sudah dipakai belum sih deodorannya?’
‘Udah, Bang,’ kata Sugiman.
Astaga.
Saat itu, gue berpikir, ternyata deodoran juga tidak bisa
memusnahkan bau ketek si Sugiman. Sugiman, mahkluk terkutuk macam apakah
engkau?!
‘Beneran, Pak?’
‘Iya, Bang. Aku pakai sebelum tidur.’
‘Ya, iyalah masih bau! Emangnya kayak sikat gigi sebelum
tidur?’
(Bab “Bakar Saja
Keteknya” hlm. 64)
Analisis: Dalam
dialog ini Sugiman melakukan pelanggaran maksim relevansi, karena jawabannya
atas pertanyaan Dika soal pemakaian deodoran. Pemakaian deodoran yang mestinya
dilakukan pada pagi hari sebelum beraktivitas justru dilakukan oleh Sugiman pada
malamnya ketika hendak tidur. Informasi yang diberikan oleh Sugiman kemudian
menjadi tak lagi relevan.
e.
Contoh pelanggaran
maksim sikap.
Contoh 1:
‘Ya udah. Mama ke bawah deh!’ seru Nyokap, lalu menutup
pintu kamar gue.
Hening.
Beberapa detik kemudian, dia membuka pintu kamar gue
lagi.
‘Pokoknya kamu jangan takut ya, Dika,’ kata Nyokap,
wajahnya tersembul separuh dari balik pintu kamar yang setengah terbuka.
‘Adik-adik kan semua tidur di bawah sama Mama. Lampu lantai dua semuanya udah
mati. Tangganya aja gelap. Jangan takut ya. Mama turun ya.’
‘Iya iya’, kata gue yang memang tidak takut.
Gue menghela napas, kembali memandangi langit-langit
kamar.
Nyokap menutup pintu.
Hening.
Beberapa detik kemudian, kepala Nyokap kembali nongol
dari balik pintu. Dia bilang, ‘Dik,kamu enggak haus?’
Gue menggelengkan kepala. ‘Enggak, kenapa,Ma?’
‘Yakin gak haus? Coba kamu rasain dulu, kamu haus
kali...’
‘Enggak. Kenapa, Ma?’
‘Pasti kamu haus. Orang itu kadang gak sadar kalau dia
haus, eh tiba-tiba dehidrasi. Bahaya loh. Nah, di bawah ada minum. Jadi, kalau
mau turun, sekalian aja sama Mama.’
‘Mama...takut turun sendirian ya?’ tanya gue.
‘Ini semua gara-gara kamu Dika, pake cerita soal
kuntilanak segala! Durhaka kamu ya!’ Nyokap sewot.
(Bab “Sepotong
Hati di Dalam Kardus Coklat”, hlm. 34-35)
Analisis: Pada
dialog ini, terjadi pelanggaran maksim sikap, karena terjadi ketidakjelasan dan
tuturan bertele-tele dari ibu Raditya Dika yang merasa ketakutan setelah
mendengar cerita Dika mengenai kuntilanak. Ia menutup-nutupi ketakutannya
dengan pertanyaan apakah Dika merasa takut dan kemudian beralih dengan
pertanyaan apakah Dika merasa haus.
KESIMPULAN
Untuk membangun komedi yang lucu
dibutuhkan kemampuan yang baik untuk melanggar setiap prinsip kebahasaan yang
ada, termasuk prinsip kerjasama (dalam percakapan). Hal inilah yang sukses
dibangun oleh Raditya Dika dalam pelbagai karyanya, tak terkecuali dalam
bukunya “Manusia Setengah Salmon”. Meskipun buku tersebut tidak ditulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi dengan bahasa gaul, justru itulah yang menjadi sarana
Raditya Dika melanggar prinsip-prinsip kebahasaan demi menyajikan komedi yang lucu
dalam bukunya tersebut.
Bentuk-bentuk pelanggaran kerjasama,
termasuk maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim sikap,
berhasil ditampilkan oleh Raditya Dika dalam bukunya tersebut. Inilah yang
membuat buku “Manusia Setengah Salmon” sedemikian lucu dan kemudian memancing
gelak tawa para pembacanya. Melalui karyanya, Raditya Dika seolah hendak
menunjukkan bahwa kelucuan bisa dibangun dengan mengeksploitasi keabsurdan cara
berpikirnya sendiri, meski kemudian harus melanggar prinsip-prinsip kebahasaan
yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Affan. 2012. Stand Up Comedy. Yogyakarta: Immortal
Publisher
Dika, Raditya. 2012. Manusia Setengah Salmon. Jakarta: Gagas
Media.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge
University Press.
Verschueren, Jef. 1999. Understanding Pragmatics. London: Arnold
Yule,
George. 1996. Pragmatics. Oxford:
Oxford University Press.
Langganan:
Postingan (Atom)